spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lapas Over Kapasitas, Bukti Hukuman Tidak Menjerakan

Emirza, M.Pd

(Pemerhati Sosial)

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) II A Bontang kini menjadi penjara paling padat di Kaltim dan Kaltara. Kapasitas yang harusnya 300an orang, kini membengkak 4 kali lipat. Imbasnya penyakit mudah menular cepat di sana, belum lagi operasional yang gemuk. Di Kalimantan Timur, Lapas di Kelurahan Bontang Lestari ini di peringkat pertama paling padat. (klikkaltim.com)

Butuh Koreksi

Permasalahan kepadatan kapasitas penjara di Indonesia merupakan masalah klasik. Berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan (SDP), total penghuni lapas dan rutan mencapai 262.765 orang narapidana, sementara daya tampung rutan dan lapas hanya sekitar 135.647 orang.

Secara statistik, kondisi ini menunjukkan over kapasitas hunian yang mencapai 94%. Bahkan, Menkumham Yasonna H. Laoly pernah mengungkap fakta miris bahwa terdapat lapas dan rutan yang over kapasitasnya mencapai 300%.

Pembangunan lapas dan rutan belum mampu menampung narapidana karena nyaris setiap hari jumlahnya bertambah. Fakta ini menuntut penyelesaian yang komprehensif, bukan sekadar membahas ketersediaan sarana untuk menampung para narapidana.

Walaupun demikian, terdapat sejumlah aspek yang harus menjadi perhatian pemerintah agar masalah hukum dan sistem sanksi yang berlaku di negeri ini dapat merealisasikan keadilan hukum sebenarnya.

Selayaknya pemerintah mengkaji bagaimana kriminalitas dapat diminimalisasi dengan langkah preventif. Karena realitas kapasitas rutan dan lapas yang over ini merupakan indikasi bahwa sistem hukum di negeri ini bermasalah, baik dari aspek preventif maupun pemberian sanksi.

Sistem Hukum Bermasalah

Manusia memiliki harapan untuk hidup berdampingan dengan sesama. Tetapi, bagaimana jadinya jika sistem hukum yang ada di wilayah mereka tidak memiliki konsep yang jelas, konsep terkait bagaimana kejahatan bisa dicegah sejak awal. Inilah yang luput dari sistem hukum saat ini.

Baca Juga:  Investasi Kepemilikan Umum, Untuk Siapa?

Sistem hidup kapitalisme yang menciptakan prinsip hidup berdasarkan hukum rimba telah menciptakan lingkungan hidup yang rawan dengan kriminalitas. Fakta kemiskinan yang tercipta karena kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Fakta ini memicu timbulnya kejahatan karena kerasnya himpitan hidup.

Pengurusan urusan rakyat yang terabaikan membuat para pelaku kejahatan bertahan hidup dengan melakukan tindak kriminalitas. Saling sikut dalam perkara pidana maupun perdata lainnya yang berujung pada pembunuhan. Nyaris setiap hari masyarakat menyaksikan berita yang merangkum tindak kejahatan di negeri ini. Kenapa hal itu terjadi setiap hari?

Hukum seolah menyerah pada realitas. Sistem hukum yang menampakkan adanya fakta suap-menyuap di persidangan dan tebang pilih penjatuhan sanksi semakin melengkapi catatan hitam sistem hukum yang ada. Mengapa? Karena akar masalah dari suburnya kriminalitas adalah dari sistem hidup yang diterapkan di negeri ini.

Di sisi lain, fakta over kapasitas penjara menunjukkan adanya kelalaian pemerintah dalam memastikan perangkat sarana dan prasarana yang mendukung tegaknya sistem sanksi. Risiko terparah dari realitas hukum kita adalah terbukanya celah kejahatan demi kejahatan akibat lemahnya sistem hukum dan pelaksanaan sanksi oleh negara.

Jelas, ini adalah teror sistem yang muncul akibat sistem hukum yang cacat dan tidak berorientasi pada aspek preventif dengan aspek kuratif yang berantakkan. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini?

Baca Juga:  “Tantangan Profesi dan Kompetensi Komunikasi di Era Digital Pasca Pandemi”, Bagaimana Seharusnya Kompetensi SDM Komunikasi Hadir?

Sistem Hukum Islam

Sistem hukum saat ini gagal menciptakan suasana aman di tengah-tengah masyarakat. Sementara, sistem hukum Islam bersifat khas, berorientasi pada aspek preventif dengan sistem sanksi yang berefek jera karena seluruhnya berdasarkan pada syariat, bukan hanya pertimbangan manusia. Hukum Islam menjamin kehidupan masyarakat yang jauh dari kejahatan melalui aspek preventif dan kuratif.

Aspek preventif tercermin dari adanya sejumlah syariat yang harus kaum muslim patuhi. Pemahaman mengenai konsep baik dan buruk, terpuji dan tercela menjadi kontrol bagi manusia dalam bertindak. Pemahaman ini juga membuat manusia selalu menghadirkan kesadaran akan hubungannya dengan Allah dalam beraktivitas.

Maka, ketakwaan individu yang hadir di setiap anggota masyarakat menjadi kendali untuk menjauhi apa pun yang Allah larang. Ini kontras dengan sistem hidup sekuler saat ini yang menafikan adanya pengawasan Allah dalam aktivitas sehari-hari.

Dalam sistem Islam adanya amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat bisa meminimalisasi kejahatan. Sebaliknya, sifat individualis yang ada di masyarakat sekuler hari ini semakin membuat suburnya kriminalitas. Jangankan peduli, masyarakat justru diam dengan kejahatan di depan mata.

Cari aman dan malas mengurusi orang lain, alasannya. Padahal, diam terhadap kejahatan adalah kejahatan juga. Demikian kata Khalifah Umar bin Khaththab. Inilah ciri masyarakat sakit, buah dari sistem sekuler.

Baca Juga:  Mampukah Selesaikan Masalah Masyarakat dengan Segudang Prestasi?

Peran Negara

Hal terpenting dalam pelaksanaan sistem sanksi adalah peran negara. Negaralah yang berperan dalam memastikan warganya tetap dalam bingkai hukum syarak. Membiarkan pelanggaran berarti berkhianat terhadap Allah dan Rasul.

Negara juga bertugas memastikan jalannya sanksi sesuai kasus yang terjadi. Baik itu pelanggaran hudud, jinayah, takzir maupun mukhalafat. Sistem pembuktian terhadap pelanggaran dilakukan sebagai implementasi dari pelaksanaan syariat.

Atas dasar ini, pelaksanaan sanksi menjadi konsekuensi atas pelanggaran yang terjadi. Keharusan negara dalam menjaga jiwa, harta, darah, agama, dan keturunan menjadi spirit penegakan hukum tanpa pandang bulu. Dasar hukum yang bersumber dari Allah dan Rasul membuat penerapan hukum dalam sistem pemerintahan Islam diliputi suasana keimanan.

Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini. Sistem hukum yang bersumber dari pola pikir manusia, terbukti banyak masalah, pertentangan dan tidak mampu menjamin keamanan warganya.

Sistem hukum Islam juga tidak hanya berdimensi dunia, tetapi juga pada akhirat. Hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan dapat mencegah terjadinya tindak kejahatan lainnya, sekaligus sebagai penebus dosa bagi pelaku.

Jika pembahasan sistem hukum sekuler masih pada aspek hak asasi manusia, sedangkan sistem hukum Islam memberikan kehidupan dan memberi jaminan hidup bagi umat manusia.

Inilah mengapa tindak kejahatan pada masa kekhalifahan Islam sangat minim. Jika sistem hukum sekuler warisan penjajah terbukti banyak masalah, memilih sistem Islam adalah pilihan rasional.

Wallahualam.

Most Popular