spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Nelayan Kesulitan Cari BBM, Kemana Peran Negara?

Oleh:
Nur Ilahiyah
Aktivis Dakwah dan Pengajar

Bontang menjadi salah satu kota yang berpenghasilan ikan terbesar di Kaltim. Hal tersebut dikarenakan Bontang memiliki seluruh kegiatan yang terkait dengan perikanan, mulai dari pendaratan hingga pelelangan ikan. Hal itu disampaikan oleh Wali Kota Bontang, Basri Rase dalam sambutan peresmian Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Limau. (radarbontang.com, 28/5/2024).

Hanya saja, justru nelayan mengeluhkan beberapa hal terkait dengan aktivitas mereka saat melaut. Misalnya sulitnya mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan terkait perizinan. Salah seorang nelayan, Bakri Mansur mengatakan, selama ini ia sulit mendapatkan BBM untuk melaut. Bahkan, ia lebih sering membeli BBM eceran. Harganya pun cenderung lebih mahal. (bontangpost.id, 4/6/2024).

Karena itulah, dalam peresmian tersebut pula, Basri Rase meminta kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim untuk menambah kuota BBM di Kota Bontang.

SALAH TATA KELOLA SDA

Penyediaan BBM yang memadai, baik dari sisi kuantitas maupun harga, sangat dibutuhkan oleh nelayan, agar mereka dapat menggunakan BBM sesuai dengan kebutuhan operasionalnya. Hanya saja, ternyata masih banyak nelayan yang kesulitan mendapatkan BBM tersebut. Kesulitan tersebut karena adanya pembatasan kuota BBM terutama solar.

Baca Juga:  Reformasi Belajar Melalui Literasi Usia Dini Berkualitas

Hal yang sebenarnya miris, karena Kelangkaan BBM justru terjadi di wilayah yang kaya akan sumber daya alamnya. Antrian Panjang truk-truk untuk mengisi solar menjadi pemandangan yang biasa. Tidak Cuma di darat, kelangkaan BBM jenis solar ini juga terjadi di laut. Alhasil, nelayan kesulitan jika ingin melaut.

Menjadi pertanyaan adalah kenapa negeri yang kaya akan SDA ini masih sering dijumpai kelangkaan BBM?

Sejak Indonesia mengadopsi ekonomi kapitalisme, SDA berupa tambang migas ini sudah mengalami liberalisasi. Alhasil, SDA kita bisa dikelola siapa saja. Karena bisa dikelola siapa saja, maka pemerintahpun sedikit demi sedikit melepas tanggung jawabnya untuk mengelola SDA tersebut dan memberikannya pada swasta atau pengusaha.

Yang mana, dipikiran pengusaha migas bisa menjadi barang publik yang dibisniskan mengikuti prinsip pasar bebas. Maka, yang bisa mendapatkan BBM adalah mereka yang bisa membeli dengan harga mahal.

Inilah akibat kesalahan tata kelola kapitalisme terkait pengelolaan kebutuhan rakyat. BBM adalah salah satu kekayaan milik rakyat, yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat bukan hanya dinikmati segelintir orang atau dijadikan barang bisnis.

Baca Juga:  Anak Wajib Terlindungi dari Eksploitasi

ISLAM MENJAMIN KETERSEDIAAN BBM

Rasulullah SAW bersabda “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” Dalam hal ini BBM termasuk kategori api. Sehingga BBM termasuk kepemilikan umat. Tersebab pengolahan BBM membutuhkan waktu yang lama dan butuh biaya besar dalam hal pengolahan tersebut, seperti pengeboran, penyulingan, dan pendistribusian, maka negaralah yang diserahi kewenangan tersebut untuk mengelola dan mendistribusikannya sebelum bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat.

Selain itu, tujuan pendistribusian minyak ke rakyat bukanlah untuk berbisnis, melainkan untuk memenuhi hajat hidup masyarakat. Alhasil, biaya yang dikenakan atas BBM untuk masyarakat bisa murah, bahkan gratis. Tidak boleh ada tujuan komersialisasi dalam pengelolaan kekayaan milik umum. Semua hasilnya harus dikembalikan ke masyarakat.

Jikapun negara ingin menetapkan harga pada BBM, seharusnya harga tersebut hanya dilekatkan sebagai pengganti biaya produksi saja, bukan dijual untuk mendapatkan keuntungan dari rakyat.

Demikianlah, dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, harta milik rakyat, yakni SDA, migas, dan lainnya akan dikelola dengan amanah, baik dari sisi produksi, konsumsi, maupun distribusinya, termasuk mengerahkan para ahli agar pengelolaan migas ramah lingkungan dan memberi kemaslahatan bagi masyarakat.

Baca Juga:  Karhutla di Bontang Berulang, Mengapa?

Wallahu’alam.

Most Popular