Emirza Erbayanthi, M.Pd
(Pemerhati Sosial)
Pemkot Bontang telah mengajukan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk 2025. Pada dasarnya besaran pengajuan kuota BBM bersubsidi berdasarkan rata-rata tingkat kebutuhan selama satu tahun ini. Di tambah peningkatan jumlah kendaraan roda dua maupun empat di Bontang.
Angka pengajuan kuota BBM masih menunggu kepastian final dari BPH Migas. Diharapkan jika dengan usulan ini dipenuhi maka tidak ada lagi antrean mengular di tiap SPBU Bontang. (kaltimpost.jawapos.com)
Mengapa BBM murah atau BBM bersubsidi dibatasi, padahal itu semua dibutuhkan rakyat? Apa akar masalahnya? Bagaimana agar rakyat tidak lagi kesusahan mendapatkan BBM murah?
BBM Bersubsidi Beban?
Pemerintah berulang kali mengatakan bahwa tujuan adanya pembatasan pembelian BBM adalah upaya agar subsidi tepat sasaran. Harapannya, pembeli adalah benar-benar rakyat yang membutuhkan dan jumlahnya dibatasi agar semua terbagi.
Tetapi, rakyat semakin sulit mengakses BBM karena terbatasnya BBM. Sungguh miris rakyat kecil yang ingin BBM murah, tapi BBMnya dibatasi. Semua ini jelas makin menyulitkan rakyat mengakses BBM yang saat ini pun keberadaannya mulai langka.
BBM nonsubsidi Pertamax malah makin dimudahkan, misalnya dengan pembuatan besar-besaran Pertashop yang menjual Pertamax. Ada kasta subsidi dan nonsubsidi semakin memperlihatkan negara berjual beli dengan rakyat bukan unsur mengurus rakyat.
Kuota BBM bersubsidi tidak seharusnya dibatasi mengingat Kaltim kaya akan minyak. Tidak seharusnya mahal dan antri mengular.
Mengapa ya, pemerintah begitu tega membatasi BBM bersubsidi?
Dalam sistem Kapitalisme sekuler saat ini subsidi seakan beban negara, sehingga ada target pengurangan bahkan penghapusan subsidi. Mereka menganggap bahwa subsidi adalah beban APBN yang jika terus diberikan kepada rakyat, APBN akan makin defisit.
Selain itu, sistem kapitalis ini memiliki standar negara ideal, yaitu negara tanpa subsidi. Ketergantungan rakyat pada subsidi dianggap sebagai bentuk ketakmandirian dan menghambat kemajuan suatu negara.
Maka, pembatasan subsidi sedikit demi sedikit sebagai upaya menuju negara sehat. Namun, benarkah subsidi adalah beban APBN?
Anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2024 ditetapkan sekitar Rp 329,9 triliun. Jumlah ini meningkat dari realisasi tahun anggaran 2023 sebesar Rp 269,6 triliun. (Newsdetik.com, 15/07/2024).
Selain itu, belanja APBN untuk infrastruktur dari Dirjen Bina Konstruksi menyampaikan bahwa di tahun 2024 Pemerintah menetapkan anggaran infrastruktur nasional sebesar Rp423,4 triliun atau 12,73% dari Rp3.325,1 triliun total anggaran belanja negara. (binakronstruksi.pu.go.id, 24/07/2024)
Ditambah belanja negara untuk proyek-proyek lainnya, seperti IKN yang merupakan proyek oligarki. Tentu jumlah subsidi sangat kecil dibandingkan utang dan biaya pembangunan infrastruktur yang bukan untuk rakyat. Pada akhirnya, lebih cocok apabila menyebut beban APBN yang sesungguhnya adalah utang dan proyek oligarki, bukan subsidi.
Demokrasi Kapitalisme
Kebijakan subsidi juga sering didompleng kepentingan kapitalis. Contohnya aplikasi untuk membayar Pertalite saja, ada opsi menggunakan jasa pembayaran melalui LinkAja dengan biaya admin untuk top up sebesar Rp1.000. Coba kalikan dengan banyaknya pengguna, lalu bayangkan potensi keuntungan yang didapat pengusaha.
Memang bukan rahasia lagi jika implementasi kebijakan subsidi menjadi ladang basah para pemburu rente dalam mengerat dana. Alih-alih membuat subsidi ini tepat sasaran, justru sebaliknya, kebijakan ini malah makin terlihat keberpihakannya pada pengusaha dan oligarki saja.
Karena subsidi pada sistem ekonomi kapitalisme diposisikan sebagai pemberian negara yang merupakan beban bagi APBN. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, negara bukan pengatur urusan umat, termasuk kesejahteraannya.
Negara hanya berperan sebagai regulator antara swasta dan rakyat sehingga kebijakan untuk menyelesaikan konflik antara keduanya.
Mirisnya lagi, regulasi yang dibuat slalu memihak pengusaha. Ini karena sistem politik demokrasi ada politik transaksional antara pengusaha dan penguasa.
Wajar jika penguasa akan mengakomodasi seluruh kepentingan pengusaha, karena telah menyokong sebelum jadi penguasa hingga duduk di kursi kekuasaan. Maka, penyebab sulitnya rakyat mendapatkan BBM bersubsidi adalah aturan main sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi.
Kapitalisme menghilangkan peran negara dalam mengurusi umat. Sistem ini yang menjadikan APBN juga selalu defisit. Liberalisasi kepemilikan membuat sumber APBN yang melimpah (pengelolaan SDA) malah dikuasai swasta.
Sistem demokrasi juga melahirkan para birokrat yang kerjanya menjamin para kapitalis bisa terus mendapatkan harta. Karena merekalah yang telah menyokong kebutuhan segelintir elite untuk bisa tetap berkuasa. Sistem ini yang menghimpun para pemangku kebijakan tidak mengenal skala prioritas.
Mereka terus membangun infrastruktur megah yang tidak ada hubungannya dengan maslahat umat, padahal APBN sudah defisit. Jadilah utang terus meningkat. Tetapi, keberadaan APBN yang ada malah beban karena pemasukan terbesarnya dari pajak rakyat.
Berlandaskan Syariat
Negara dalam Islam menerapkan APBN yang berlandaskan syariat (baitulmal). Subsidi bukan dimaknai pemberian negara yang membebani APBN, tetapi sebagai tanggung jawab negara.
Negaralah akan menjamin kebutuhan rakyatnya, termasuk BBM murah. Begitu juga dengan kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, pendidikan akan dijamin negara.
Baitulmal memiliki sumber dana yang tidak membebani rakyat. Dikarenakan kepemilikan dalam Islam mengharamkan privatisasi atas SDA melimpah yang dibutuhkan umat. Sehingga kebutuhan hidup seluruh rakyat terpenuhi dan merata.
Alokasi baitulmal disalurkan untuk kemaslahatan umat, sehingga menjadikan kehidupan rakyatnya sejahtera. Alokasi belanja akan dipilih prioritasnya. Maka pembangunan infrastruktur untuk memudahkan rakyat menjalani kehidupannya.
Keunggulan baitulmal tidak bisa diterapkan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Pemangku kebijakan tidak akan membiarkan kepemilikan dibatasi karena dapat merugikan pengusaha.
Proyek-proyek “mubazir” yang menguntungkan oligarki akan sulit dieksekusi. Karena, konsep baitulmal adalah ancaman. Maka itu, BBM subsidi sulit didapat dan kehidupan makin terimpit adalah akibat penerapan sistem demokrasi kapitalisme.
Begitu pun APBN yang berlandaskan syariat, tidak bisa diterapkan karena sistem Islam tidak utuh diterapkan. Sehingga, penting untuk kita sadang Islam kaffah, agar kuota BBM bersubsidi tidak dibatasi dan rakyat bisa hidup sejahtera.
Wallahualam.