BONTANG – Minggu (29/6/2025) malam, saya menghubungi H. Saeful Rizal, anggota DPRD Bontang dari PKS, daerah pemilihan Bontang Utara. Meski kami tinggal di kawasan yang sama, Perumahan Bukit Sekatup Damai (BSD), ini kali pertama kami berbincang langsung soal aspirasi warga. Biasanya kami hanya bersalaman saat bertemu di Masjid Fathul Khoir.
Saya menghubungi beliau karena satu persoalan yang tak kunjung jelas penyelesaiannya: retribusi pembuangan sampah warga BSD ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), padahal seluruh proses pengelolaannya dilakukan secara mandiri oleh warga melalui Badan Koordinasi Lingkungan (BKL) BSD.
Sebelumnya, saya berdiskusi dengan mantan Ketua RT 39 Slamet Santoso dan Ketua BKL BSD Supriyadi. Kami membedah angka retribusi di lapangan. Setiap bulan, warga BSD harus membayar Rp8 juta sampai Rp10 juta ke UPTD TPA Bontang Lestari untuk biaya retribusi. Padahal sampah diangkut sendiri tanpa fasilitas dari Pemkot Bontang.
Seluruh pengangkutan, dari rumah ke TPS hingga ke TPA, dilakukan oleh BKL BSD. Armada truk milik lingkungan, tenaga angkut harian, dan seluruh biaya operasional ditanggung dari kas BKL yang berasal dari iuran warga. Dana ini juga menopang sistem keamanan lingkungan.
Namun ironisnya, retribusi tetap dikenakan penuh. Bahkan tarifnya naik sejak 2024 dari Rp50 menjadi Rp150 per kilogram, sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf C angka 10 huruf a Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Tarif tersebut berlaku khusus bagi pihak yang membuang sampah sendiri ke TPA, seperti yang dilakukan warga BSD. Artinya, meskipun tidak menggunakan jasa pemerintah, beban biaya justru lebih berat.
Supriyadi menyebut, persoalan ini pernah disampaikan kepada Wali Kota sebelumnya, Basri Rase, dan dijanjikan akan ada keringanan bahkan pembebasan iuran. Namun hingga kini tak kunjung terealisasi. Belakangan, hal serupa juga disampaikan kembali kepada Wali Kota Bontang saat ini, Neni Moerniaeni, yang menjabat bersama Wakil Wali Kota Agus Haris. “Katanya memang ada Perda, tetapi kami berharap bisa diberi kebijakan. Harapan kami bisa dapat keringanan hingga 50 persen. Karena sampah sudah kami angkut sendiri,” kata Supriyadi.
Menanggapi hal itu, Saeful Rizal menegaskan akan memperjuangkannya. “Logikanya, warga sudah mengangkut sampah sendiri ke TPA. Harusnya ada keringanan. Warga BSD tidak berbeda dengan warga lainnya di Bontang,” ujarnya.
Ia juga berencana bertemu langsung dengan para ketua RT dan pengurus BKL sepulang dari luar daerah, guna menyerap permasalahan pengelolaan lingkungan dan pelayanan publik yang belum maksimal. Saat ini, Saeful belum berada di Bontang karena baru saja melangsungkan hajatan pernikahan putranya, Ahmad Mizam Karim dengan Hasna Aprilia, di Serang, Banten.
BSD sendiri kini dihuni sekitar 950 kepala keluarga, dan telah lama menunjukkan kemandirian dalam urusan lingkungan. Bahkan, dalam wacana pengembangan wilayah, kawasan BSD direncanakan dimekarkan menjadi satu kelurahan tersendiri karena tingkat kepadatan dan skalanya yang semakin besar.
Di luar isu retribusi, Saeful memaparkan sejumlah agenda pembangunan yang ia perjuangkan untuk BSD. Salah satunya perbaikan parit di Gunung Tinombala, yang dinilai semakin rawan longsor karena kondisi tanahnya labil.
“Tanah di sana tanah tumbuh. Kalau dihentakkan kaki, terasa kosong. Kasihan kalau rumah warga sampai ambruk,” katanya.
Ia juga mendorong percepatan pemasangan CCTV di 36 titik, dua titik per RT, lengkap dengan sistem pemantauan. Anggarannya berasal dari dana pokok pikiran (pokir) tahun ini.
Selain itu, saat ini juga dilakukan pengaspalan jalan rusak dan rencana pemasangan lampu jalan (PJU). “Namun, anggaran untuk PJU, alokasinya untuk satu kecamatan Bontang Utara, nilainya sekitar Rp1,5 miliar. Sehingga tidak semua jalan di lingkungan BSD bisa dipasang,” ucapnya.
Isu lain yang ia soroti adalah kemunculan buaya di Danau BSD. Hingga kini belum ada penanganan tuntas. Padahal diperkirakan ada 10 buaya di tempat ini.
“Sudah saya hubungi Balai Konservasi dan Damkar. Bahkan Polres siap menembak jika membahayakan manusia. Tapi masih terkendala aturan,” jelasnya.
Sebagai solusi, ia mendorong pengadaan pagar keliling dan relokasi buaya secara kolaboratif dengan Balai Konservasi dan CSR PT Pupuk Kaltim. Termasuk rencana jogging track yang dijanjikan PKT, yang bisa direalisasikan dengan paving block dari limbah batu bara Indominco.
Di akhir pembicaraan, Saeful Rizal menegaskan bahwa perjuangannya sederhana: memperjuangkan keadilan bagi warga BSD. “Warga BSD paling taat pajak, patuh aturan. Sudah saatnya mereka mendapat layanan yang layak dan setara dengan warga Bontang lainnya,” katanya.
Jadi ini bukan lagi sekadar soal pemilu atau soal suara. Ini soal etika pemerintahan: membalas inisiatif warga dengan keberpihakan yang nyata. (*)
Penulis: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Editor: Yusva Alam