Oleh:
Dian Eliasari, S.KM.
Member akademi Menulis Kreatif
Memiliki buah hati adalah anugerah dan kebahagiaan tersendiri bagi setiap rumah tangga. Tak salah jika anak disebut sebagai penyejuk mata serta penentram jiwa. Berbagai tingkah polanya menghadirkan warna tersendiri di rumah. Sudah selayaknya titipan Allah tersebut dijaga dan diasuh dengan penuh kasih sayang.
Tapi realitasnya tidaklah demikian. Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Bontang, tercatat hingga Mei 2024 kekerasan pada anak dengan kekerasan fisik berada pada urutan pertama, sebanyak 16 kasus setelah kekerasan seksual sebanyak 13 kasus. Kemudian kekerasan psikis 6 kasus, kekerasan hak nafkah anak 2 kasus, bulying 2 kasus, Anak Berhadapan dengn Hukum (ABH) 2 kasus dan seksual (pornografi) 2 kasus. (radarbontang.com./31/07/2024)
Padahal pada tahun 2023 lalu, kasus kekerasan tersebut sempat berkurang, “Data bisa bertambah kalau nanti sampai akhir tahun,” jelasnya. Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa anak-anak masih rentan menghadapi kekerasan, yang terkadang datang dari orang terdekat. “Bisa jadi dari dalam rumah, lingkungan sekitar, maupun sekolahan,” tambahnya. (radarbontang.com. /11/07/2024)
Yang terbaru, Polres Bontang menahan pelaku penganiayaan bayi berusia 2 bulan yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Kapolres Bontang, AKBP Alex Bontang Frestian Lumban Tobing mengatakan, dari hasil penyelidikan kepolisian, bukti AA (34) melakukan penganiayaan tersebut telah terkumpul sehingga pelaku dapat ditahan.
Dari hasil penyelidikan, AA melakukan penganiayaan karena merasa sakit hati sering dianggap sebelah mata oleh keluarga istri, dan karena istrinya kerap menolak ajakan berhubungan suami istri. Belakangan diperoleh fakta tambahan bahwa pelaku berada di bawah pengaruh narkoba saat melakuan perbuatannya.
Maraknya kasus kekerasan anak mendapat perhatian dari Anggota Komisi I DPRD Kota Bontang, Abdul Haris. Beliau menanggapi maraknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak, yang terjadi pada semester pertama tahun 2024. Ia mengatakan, bahwa pemerintah harus memiliki ketegasan dari sisi regulasi seperti sanksi bagi para pelaku, kemudian dari sisi pengawasan orang tua juga harus ditingkatkan.
“Kekerasan ada banyak, dari kekerasan fisik, psikis maupun seksual, itu semua harus diberikan edukasi ke anak maupun orang dewasa,” ujarnya
Sejatinya, akar persoalan dari kasus kekerasan terhadap anak yang marak terjadi adalah jauhnya keluarga dari pemahaman dan aturan Islam. Orang tua yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak, justru menjadi pelaku utama yang menjadi sumber kekerasan. Ada banyak pasangan yang memutuskan menikah tanpa memahami hak dan kewajiban, serta peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Banyak juga yang tidak faham hukum syariat terkait kehidupan sehari-hari. Alhasil, ketika terjadi masalah, mereka menyelesaikannya dengan hawa nafsunya sendiri.
Selain faktor di atas, kehidupan kapitalisme sekuler yang diterapkan di tengah masyarakat juga membuat kasus kekerasan pada anak marak. Saat ini masyarakat tidak lagi menjadikan syariat sebagai tuntunan hidup. Sehingga kehidupan mereka hanyalah mencari materi, baik untuk memenuhi kesenangan maupun tuntutan kebutuhan. Sementara ibadah hanya sekedar shalat, zakat, puasa, serta ibadah mahdho lainnya.
Demikian juga yang terjadi pada pola asuh anak, tak jarang anak yang menjadi alasan orang tua mencari materi, di lain waktu justru menjadi sasaran pelampiasan emosi orang tua. Berupa umpatan, maupun kekerasan fisik dan psikis.
Meskipun negara sudah cukup banyak memberikan perhatian dan solusi, tapi kasus kekerasan anak masih terus terjadi. Solusi kekerasan yang ditawarkan saat ini masih belum bisa menjadi benteng dan pelindung bagi anak.
Sebagai komparasi sistemis, Islam memiliki konsep sahih dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak. Allah Swt. telah mewajibkan para orang tua untuk menjalankan tanggung jawab mereka dalam menjaga, melindungi, dan mendidik anak. Konsekuensi dari tanggung jawab ini terkait erat dengan pahala dan dosa.
Allah berfirman dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]: 27).
Atas dasar itu, orang tua harus berupaya semaksimal mungkin menjalankan kewajibannya. Mereka memahami bahwa kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban atas amanah tersebut. Untuk itu, agar orang tua dapat menjalankan perannya, sudah selayaknya negara menciptakan iklim kondusif.
Caranya yakni dengan memastikan bahwa peran antara suami dan istri berjalan sesuai fitrahnya. Ayah sebagai wali bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan para ibu memastikan tugasnya sebagai ummun wa rabbatul bait bisa berjalan sesuai syariat.
Pembagian peran yang sesuai standar syariat ini akan mewujudkan hak-hak anak berupa penjagaan fitrah, penjagaan jiwa, termasuk penjagaan dirinya dari berbagai kekerasan fisik yang berpeluang terjadi.
Bahkan, patut menjadi catatan bahwa orang tua tidak boleh merasa telah menjalankan tanggung jawab menjaga anak-anaknya hanya dengan mencari lembaga layanan jasa penjagaan dan penitipan bagi anak mereka. Orang tua akan terkategori melalaikan tanggung jawabnya yang berasal dari Allah tersebut, dengan menyerahkan sepenuhnya pengurusan anak tanpa mereka berkontribusi dalam menjaga dan mendidik sang anak.
Syekh Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya Nidzam Al-Uqubat, menjelaskan bahwa batasan tindakan atau perbuatan kriminal adalah perbuatan tercela (qabih). Perbuatan tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariat.
Adapun penganiayaan, bisa terkategori jinayat jika pelaku melakukan hal yang membahayakan organ tubuh, baik itu mata, kepala, punggung atau yang lain. Sanksinya sesuai diat yang ditetapkan syariat. Bisa pula terkategori takzir jika pelaku melakukan kriminalitas yang terkategori melanggar hak seorang hamba. Bahkan, bisa terkategori kisas jika sampai menghilangkan nyawa.
Walhasil, melindungi anak dari kekerasan membutuhkan sistem yang sehat. Di dalamnya negara berperan menciptakan atmosfer kondusif bagi terwujudnya keamanan bagi anak, masyarakat bahu-membahu merealisasikan apa yang menjadi visi negara bagi generasi, sedangkan para individu masyarakat menjalankan perannya masing-masing sesuai standar syariat. Kondisi ideal ini akan memastikan terwujudnya tatanan keluarga ideal sebagai institusi pencetak generasi masa depan.
Wallahualam bissawab.