SAMARINDA – BPK-RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur mengeluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Nomor 20.B/LHP/XIX.SMD/V/2022 pada tanggal 20 Mei 2022. Laporan ini terkait sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan atas Laporan Keuangan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2022.
Beberapa hal di dalam laporan tersebut pun menjadi perhatian, di antaranya berkaitan dengan temuan BPK RI terhadap nilai jaminan tambang yang tidak sesuai ketentuan.
BPK RI mencatat lima poin temuan yang diperuntukkan untuk DPMPTSP Kaltim dan Dinas ESDM Kaltim tersebut di antaranya, pertama analisis jaminan kedaluwarsa sebesar Rp1,7 Triliun atau rincinya Rp1.726.534.294.529,09 dan $ 1,6 juta US atau rincinya $1.668.371,62 dalam rangka memastikan nilai jaminan.
Kedua, jaminan kesungguhan yang belum dicatat minimal sebesar Rp593juta atau rinciannya Rp 593.851.268,47 (Rp371.750.367,65 + Rp222.100.900,82). Lalu ketiga, potensi jaminan kesungguhan hilang minimal sebesar Rp1,07 Triliun atau rinciannya Rp 1.074.560.478,62.
Keempat, bunga jaminan kesungguhan yang digunakan oleh kabupaten/kota minimal sebesar Rp87 juta atau rinciannya Rp 87.231.510,24. Kemudian kelima, Inventarisasi potensi rekening jaminan tambang lainnya (pokok maupun bunga). Menanggapi jaminan tambang yang tidak sesuai itu,
Syafruddin yang merupakan Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim pun angkat bicara dan memberikan komentarnya.
Menurutnya, semua persoalan itu diakibatkan pengalihan kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dari kabupaten/kota, menjadi provinsi, dan akhirnya dilempar lagi ke pusat.
Soal jaminan reklamasi ini memang sudah kusut, karena sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 yang direvisi itu, kan kewenangan pemberian IUP ada di kabupaten/kota.
“Sehingga, kita tidak pernah punya kewenangan untuk menelusuri. Pemegang IUP ini dana jamreknya di mana dia simpan, di kabupaten/kota atau pusat. Kan gitu,” ucapnya di Gedung D Komplek DPRD Kaltim Jalan Teuku Umar, Selasa (28/6/2022).
Kemudian, setelah adanya perubahan kembali maka kewenangan ada di Provinsi. Saat itu, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk menelusuri dan mengetahui sebenarnya berapa dana jamrek yang ada ini.
“Jadi teman-teman PTSP itu sedang mencermati dan menelusuri, berapa sih dana jamrek yang terpakai atau tersimpan. Kira-kira sudah dikembalikan atau dimanfaatkan untuk reklamasi terhadap kawasan pertambangan yang ditinggal pengusaha tambang,” jelasnya.
Kurang lebih 8 tahun lamanya kewenangan berada di Pemerintah Provinsi, Udin, sapaan akrabnya, merasa bahwa PTSP sudah memiliki data yang akurat terkait besaran dana jamrek selama ini dan di simpan di mana. Transparansi harus dilakukan supaya tidak terjadi kecurigaan yang mendalam kepada pemerintah, walaupun provinsi baru miliki kewenangan sejak tahun 2014 lalu.
Menurut politikus PKB itu, persoalan ini berpotensi terjadinya sejumlah pelanggaran hukum. Maka, harus didorong terus agar diselesaikan secara hukum. “Kami selalu mendorong serta mendesak agar PTSP dan pihak-pihak terkait segera memberi informasi terbuka kepada rakyat tentang berapa jumlah dana reklamasi itu lalu posisinya sekarang ini di mana,” paparnya.
Dana jaminan reklamasi ini merupakan cara pemerintah agar para perusahaan tambang langsung pulang setelah selesai melakukan penambangan. Pun, dana in didapat sebelum aktifitas pertambangan dimulai. “Itu artinya, pengusaha tambang terlebih dulu menyimpan dana jaminan reklamasinya sebelum melakukan penambangan. Jadi kalau pun dia meninggalkan lubang tambang, ada jaminan yang dia simpan di kas daerah atau negara,” terangnya.
“Sekarang ini dananya nggak jelas posisinya di mana, tapi kita dukung agar transparan. PTSP harus bertanggung jawab dan transparan berapa sekian dana jaminan reklamasi yang ada ini, serta sudah terpakai berapa. Jika memang ada yang melakukan manipulasi atau menyembunyikan dana itu, laporkan ke polisi,” tegasnya. (adv)