spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Parjo, Ewin Dan Covid

Cerpen : Muthi’ Masfu’ah, A.Md, CN NLP

Parjo terus melangkah menyusuri ruas jalan, Bontang tampak terik. Sembari mendorong gerobak penuh aksesoris dan mainan anak, Lelaki berusia 55 tahun tersebut menyapa setiap orang yang melintas. Wajahnya penuh peluh. Dibiarkan, tak diseka olehnya.

“Aksesoris, aksesoris, ada jepit, masker, !!”  teriak Parjo sembari berjalan di sekitar, Gunung Sari dekat rumahku.

Disaat kebanyakan orang melakukan aktivitasnya di dalam rumah, Ia tetap berjualan dan melakukan aktivitasnya sehari-hari. Sembari menghela nafas ia berhenti di ruas jalan,  berharap pembeli menghampiri. Sesekali pria asal Jawa Timur ini juga merapikan dagangannya. Mengebas-ngebas debu yang menempel.

“Seratus lima puluh  ribu sekarang berat, Mba. Gak tau mungkin lagi sulit, banyak yang gak kerja kali,” ungkap Parjo membuka percakapan kepadaku siang itu. Pak Parjo memang langganan putri kecilku, jepit rambut yang ia jual kesukaan putri kecilku. Kadang beli sepekan sekali dengannya.

Parjo menceritakan, bagaimana pandemi COVID-19 membuat perekonomian keluarganya mulai tak stabil. Aksesoris dan mainan dagangannya sepi pembeli. Sementara itu, kebutuhan hidup kian bertambah. Belum lagi harus mengirim uang dikampung halaman tiap bulan. Terasa beratnya.

“Kalau laku ya laku, ya cukup buat makan aja. Anak dua tapi dikampung, satunya masih kecil. Kalau keluarga ya dikirimi, uang dikumpulin baru dikasihkan, ya gak tentu seadanya,” paparnya datar.

Parjo, lantas ingin kembali mengayunkan langkah, mendorong gerobaknya menyusuri ruas jalan hingga gang-gang sempit. Namun, hingga matahari mulai menyengat tak satupun orang meghampiri. Dengan senyum ia menjelaskan, ini resiko yang harus dihadapi.

Baca Juga:  13 Tahun Komitmen Konservasi Terumbu, PKT Raih Penghargaan AREA 2022 Kategori Social Empowerment

“Kalau sepi ya resiko, ya pokoknya jalan aja lah. Yang penting bekerja yang halal Mba,” ujarnya berusaha tertawa di tengah goresan wajahnya yang mulai menua.

“Ya pokoknya jalan. Dulu ketika sekolah masuk pagi, terus jam istirahat saya ada. Sekarang kan  masih libur, ya keliling aja. Mudah-mudahan anak-anak segera masuk sekolah,” harapnya.

“Saya juga sudah 4 bulan tidak pulang,” katanya lagi, menahan rindu.

Aku hanya mendengarkan ceritanya, sambil memintanya terus bersabar, sambil memilih jepit ramput untuk putri kecilku.

Tak lama…

“Mba banyak sekali ini uangnya, jepitnya hanya sepuluh ribu.”

“Iya Pakde, itu rezekinya hari ini,” ujarku sambil beranjak pergi.

Parjo berterima kasih, ada senyum di sudut wajahnya. Tak lama ia kembali mengayunkan langkah, sembari hendak berjalan ia masih juga berkisah ketika penjualan turun, sejumlah beban justru membengkak.

Bagi Parjo, bagaimanapun juga dengan adanya pandemi ini telah banyak membawa ujian berat terhadap dirinya dan keluarga. Cerita dari Parjo bisa dialami satu dari sekian banyak masyarakat yang terdampak adanya pandemi Covid-19 ini. Ada pesan dari Parjo yang terlontar dari mulutnya,” Yang penting usaha, halal dan semangat,” ungkapnya berlalu, sembari kembali menyusuri jalan dengan mendorong gerobaknya.

###

Sore ini, aku sudah sampai di kota kelahiranku, Samarinda. Memasuki salah satu toko buku yang dulu nampak laris pembeli. Kini penjaga toko yang biasanya sibuk, bersama teman-temannya hanya  duduk-duduk menunggu pembeli.

Baca Juga:  Musrenbang Bontang Kuala, Perbaikan Trotoar Jadi Prioritas

Ewin adalah pedagang buku di toko buku itu, kini tidak banyak pengunjung yang lalu lalang sore itu. Sembari memilih buku-buku pesanan putriku. Aku melirih…

Wajah Ewin tampak lesu. Sesekali berkeluh kesah lantaran dagangannya sepi selama masa pandemi Covid-19.

Pada awal masa pandemi Covid-19, toko ini memang pernah ditutup. Ia tak bisa berjualan. Pada tiga bulan awal, Ewin hanya bisa di rumah. Otomatis, pendapatan  tak ada.

Satu-satunya yang bisa diandalkan saat itu adalah sisa uang di tabungannya.

“Ya hanya mengorek sisa-sisa tabungan saja. Kalau sekarang hanya gali lubang tutup lubang alias utang. Saya hanya bisa berharap bisa bertahan, berharap semua akan segera berakhir.”

Pendapatannya sempat kembali membaik setelah pemerintah mengendurkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pasca-Lebaran. Namun, jika dibandingkan sebelum pandemi Covid-19, pendapatan turun 50 persen.

Pendapatannya kembali anjlok saat pemerintah menerapkan PSBB Ketat.

“Bahkan sampai enggak ada yang beli. Ada dua tiga hari sampai tak ada yang beli,” ujar Ewin.

Ewin banyak menjual buku buku sekolah. Oleh karena itu, Ewin mengandalkan tahun ajaran baru sekolah untuk mendongkrak pendapatannya. Jika tahun ajaran baru pada bulan Juli, Biasanya Ewin bisa menjual 100-150 buku mulai buku tingkat SD hingga perkuliahan.

Namun, kebijakan belajar dari rumah juga memengaruhi penjualan. Ewin mengatakan, pihak sekolah tak mewajibkan membeli buku.

“Mereka lari ke internet. Seperti habis Lebaran itu, penjualan buku SD, SMP, SMA itu turun sekali,” kata Ewin lesu.

Baca Juga:  Edisi 11 Juni 2022 : Kodim Bontang Kawal Pembangunan Pabrik Bahan Peledak

Ewin sendiri tak membuka penjualan secara daring. Ewin mengaku, penjualan secara daring memiliki persaingan yang ketat, sementara kemampuannya berjualan secara daring juga terbatas.

Aku pun tak bisa berbuat banyak. Iba, pasti.

“Mba kok banyak uangnya ini, bukunya hanya seratus ribu saja,” Ewin mengejarku.

“Udah buat Bapak saja sisanya ya. Semoga rizkinya makin mudah ya,” pesanku padanya dan berlalu pergi.

Aku berjalan menuju parkiran kendaraan roda empat. Aku menatap langit. Terik terasa.

Aku duduk di depan setir mobil. Menghela nafas. Aku yakin, Allah menakdirkan semua ini terjadi atas izinnya. Sekalipun pandemi ini, yang tidak tau kapan berakhirnya.

Tiba-tiba ponselku berdering…

“Ya hallo, assalamu’alaikum…” kataku menyapa buah hati yang rajin sekali menelpon jika aku jauh darinya.

“Ummi, Pak Parjo meninggal baru aja, kena covid Mi. Kan berapa hari gak jualan, ia sakit Mi…,” suara putriku memberi kabar duka..

Pak Parjo pedagang assesories langganan putriku…

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…  Ya Allah padahal baru beberapa hari bertemu, mendengar kabarnya sakit dan sekarang telah wafat… Mataku berkaca… Membayangkan bagaimana pilu dan duka anak dan istri yang ditinggalkannya… Padahal empat bulan belum bertemu.. Ya Allah berapa banyak yang telah wafat karena terjangkit virus ini… Ya Allah lapangkan kubur untuknya… Seorang ayah yang berjuang mencari nafkah dan wafat karena wabah…

Aku melaju dengan mobil mungilku… mataku masih terus berkaca… (**)

 

 

Most Popular