spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Saat Kritik Dibalas Doxxing, Siapa Melindungi Ruang Demokrasi Kita?

Oleh: Agus Susanto, SHut, SH, MH
CEO Media Kaltim Network & Advokat

Fenomena doxxing atau penyebaran data pribadi tanpa izin, makin mencemaskan. Di Kaltim, baru-baru ini, kembali muncul kasus yang memperlihatkan bagaimana kritik yang disampaikan melalui media sosial justru dibalas dengan serangan terhadap privasi.

Data pribadi—termasuk identitas keluarga—diunggah akun anonim, sebagai reaksi terhadap konten yang mengkritisi dinamika pemerintahan daerah.

Peristiwa ini bukan yang pertama. Sebelumnya, seorang kreator konten juga mengalami hal serupa setelah rutin menyuarakan kritik terhadap kebijakan pembangunan.

Mirisnya, kejadian itu memicu reaksi serupa terhadap seorang pemimpin redaksi media lokal yang menyuarakan keberatan atas praktik doxxing tersebut. Kritiknya kemudian dibalas dengan cara yang sama: identitas pribadinya dan identitas istrinya disebar ke publik.

Ini menandai gejala yang serius: kritik yang mestinya ditanggapi dengan dialog, justru dibalas intimidasi. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik adalah mekanisme koreksi. Ia bukan ancaman, melainkan vitamin bagi kebijakan publik.

Namun demikian, harus ditegaskan pula bahwa kritik yang sehat adalah kritik yang disampaikan secara netral, independen, dan tidak ada kepentingan politik tertentu. Ketika kritik berubah menjadi alat propaganda atau dibumbui dengan narasi tendensius, ruang demokrasi bisa tercemar dan kehilangan integritas.

Baca Juga:  Event Lari di IKN, tapi Dampaknya Nasional

Ketua Dewan Pers 2025–2028, Prof. Komaruddin Hidayat, dalam serah terima jabatan Rabu (15/5) kemarin, menyampaikan refleksi penting bahwa saat ini batas antara pers dan media sosial kian kabur. “Istilah pers sendiri sekarang kan sudah berbaur dengan media sosial,” ujarnya.

Dikatakannya, membanjirnya informasi di ruang digital akan berdampak positif jika diiringi dengan pendampingan dan pendidikan literasi, khususnya bagi generasi muda.

Masukan ini penting, sebab yang kita butuhkan sekarang bukan hanya keterbukaan terhadap kritik, tetapi juga sistem perlindungan terhadap mereka yang menyampaikan kritik secara sehat.

Pemerintah, aparat penegak hukum, hingga pemilik platform digital harus mulai membangun ekosistem yang melindungi hak berpendapat tanpa rasa takut.

Kepada wartawan, Wali Kota Samarinda Andi Harun, menegaskan bahwa dirinya terbuka terhadap kritik, selama disampaikan dengan dasar argumentasi yang jelas dan ditujukan pada gagasan, bukan pribadi.

Sikap ini patut diapresiasi. Namun tantangannya kini bukan sekadar soal menerima kritik, tetapi bagaimana menjaga ruang digital tetap aman bagi para pengkritik yang sah secara hukum dan etika. Kita perlu langkah nyata:

  • Penegakan hukum terhadap pelaku doxxing, karena penyebaran data pribadi tanpa izin jelas melanggar UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi.
  • Peningkatan literasi digital dan etika bermedia, agar masyarakat memahami batas antara kritik dan serangan, serta hak dan tanggung jawab di ruang digital.
  • Kolaborasi antara pemerintah, media, dan platform digital untuk menyaring dan menghapus konten berbahaya yang mengandung unsur doxxing atau ujaran kebencian.
Baca Juga:  Dari Kaltim untuk Dewan Pers

Harus diakui, demokrasi digital kita sedang diuji. Jika kita biarkan kritik dibalas dengan serangan personal, maka bukan hanya kebebasan yang runtuh, tetapi juga keberanian publik untuk peduli.

Hari ini yang diserang bisa saja jurnalis atau influencer, tapi esok bisa siapa saja, termasuk kita dan keluarga kita, jika menyampaikan pandangan yang dianggap tak sejalan. (*)

Most Popular