“Tia, jangan lupa jaketnya, minyak kayu putih, sanitizer sama maskernya ya,” pesan mamah dengan sabarnya mengingatkanku. Tiap saat aku hendak bekerja, pesan itu mamah sampaikan berulang-ulang.
“Iya Mah, sudah semua. Mah, bus jemputan sudah datang.” Buru-buru aku memakai sepatu bot kulit, mengambil tas ranselku. Salim tangan mamah yang selalu hangat untukku. Segera aku berlalu. Menaiki bis angkutan pekerja tambang, membaur bersama teman-temanku yang 99 persen pegawai laki-laki.
“Gak apa pekerjaan lain kah, Tia?” tanya mamah berulang-ulang, menanyakan pekerjaanku di pertambangan itu.
Yap seperti halnya pada masyarakat umum, perempuan biasanya bekerja di kantoran, perawat, model, dunia hiburan atau menjadi ibu rumah tangga. Tetapi, beda ceritaku. Tidak ada yang menduga bahwa aku, yang kata sahabatku Murni. Pemilik senyuman manis itu, merupakan perempuan yang menurut mereka, tangguh yang berprofesi sebagai operator jembatan timbang di salah satu perusahaan tambang nikel di kotaku. Bukannya tanpa suka dan duka , sungguh selama menjadi pekerja tambang sudah dirasakannya, banyak cerita ada di sana.
Meraih Gelar Sarjana Keperawatan dari Universitas di kotaku. Tampaknya tidak membuatku ingin melanjutkan mimpi menjadi garda terdepan untuk memerangi Covid 19. Tapi aku terbiasa menjadi perempuan yang suka berperang dengan aktivitas tambang tersebut justru senang dengan pekerjaan yang memicu adrenalin.
Bekerja di perusahaan tambang nikel, siapa lagi wanita yang ingin mengambil risiko seberat ini sampai harus merelakan waktu untuk tidak berkumpul bersama keluarga?
Yap, umumnya, perusahaan tambang nikel mempekerjakan pekerja laki-laki, namun hal ini dipatahkan dengan kehadiranku. Pekerjaanku memang tidak biasa dikerjakan kaum hawa. Sesungguhnya, di era kini laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam bekerja.
Sebagaimana yang telah aku lakukan, aku harus mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaga pada pekerjaan ini. Meskipun sudah merasakan suka duka, hati terasa ikhlas menjadi modal aku dalam menjalani profesi ini. Bahkan aku tidak peduli banyaknya keringat yang bercucuran selama pekerjaannya halal, aku bisa belajar banyak hal disini, dan pekerjaan ini banyak dirindukan oleh para pengangguran di kota ini.
Sungguh, tidak berhenti sampai disitu, suka duka aku lainnya yaitu sempat dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Ketika dipandang sebelah mata, semangatku bertumbuh dan tidak patah. Aku ingin membuktikan bahwa suatu saat nanti kesuksesan dapat diraih.
Bukan hanya aku, Marlyn White misalkan, perempuan kelahiran Pontianak memiliki pengalaman bekerja di dunia pertambangan Australia Barat selama lebih dari 10 tahun. Saat ini Marlyn memegang posisi project controller di sebuah perusahaan peralatan dan perlengkapan tambang.
“Saya tidak pernah pegang sekop akhirnya jadi terbiasa, karena tuntutan pekerjaan. Tetapi menjadi pengalaman unik buat saya bahwa hidup tidak selamanya berjalan lurus, kadang kita harus mencoba hal baru,” ungkap srikandi pemakai seragam PT Wanatiara Persada kala itu.
“Bagi kita yang memiliki cita-cita menjadi anak tambang yang profesional, maka terlebih dahulu kita wajib mengetahui suka dan duka kehidupan yang ada di pertambangan. Pasalnya, mempunyai ambisi yang sesaat saja tidak cukup. Sektor ini benar-benar menuntut dan menempah orang-orang yang memang tahan banting terhadap tantangan dan risiko. Tul gak Tia?” Murni partner kerjaku ini menguatkan selalu.
Yap, sama halnya dengan Murni, sahabatku satu-satunya di tambang, bahwa kita tak perlu khawatir dengan segala duka yang ada di lapangan. Sebagai orang yang memang memiliki passion di industri tambang. Pada akhirnya suka dan duka menjadi perpaduan yang memang akan selalu ditemukan di berbagai pekerjaan. Pekerjaan apapun.
Menjadi pekerja tambang kerap dijuluki sebagai “Bang Toyib”. Hal ini dikarenakan intensitas pulang kerja ke rumah yang sangat jarang. Kendati demikian umumnya sebutan ini berlaku untuk laki-laki. Namun, bukan berarti perempuan tidak memiliki peranan penting di sektor tambang. Para perempuan tangguh biasanya ditugaskan di tempat yang lebih menantang.
Dan semua tanggal di kalender pekerja tambang adalah hitam. Selain itu, yang menjadi tantangan ketika berada di industri ini jangan harap kamu mendapatkan cuti panjang atau layaknya anak kantoran. Pekerja tambang tidak mengenal tanggal merah di kalender, bahkan hari Minggu pun tetap menjalankan tugas. Hal ini karena pekerja tambang di site memakai sistem roster, yaitu penerapan beberapa lama waktu kerja dan berapa lama waktu cuti, yang pada umumnya adalah 8:2, yang artinya 8 minggu kerja dan 2 minggu cuti.
Juga sudah menjadi rahasia umum jika lokasi pertambangan ada di daerah terpencil. Mulai dari pembukaan lahan, pembuatan jalan hauling, hingga didirikan bangunan tempat tinggal pekerja tambang. Meski demikian, fasilitas pekerja tambang tidak kalah bagusnya dengan orang-orang yang kerja kantoran di daerah kota.
“Yah, walau akhirnya, suatu saat aku gak kerja di sini lagi, Murni,” kataku sambil menyertir mobil pick up bersama Murni menembus malam yang basah. Menusuk tulang, dinginnya sampai ke hati.
“Menjadi pekerja tambang harus siap siaga terhadap panggilan meeting atau keperluan lain di tengah malam, seperti saat ini. Gak pas untuk yang ingin menikah dan menikah nanti, Murni…” aku masih berkata dengan Murni menembus malam memasuki hutan berbukit.
Hujan lebat, dataran belum stabil dan berlumpur. Beberapa bukit telah longsor dan ribuan kilometer tanah jatuh ke jalan. Pelan-pelan aku menyetir mobil melintas jalan yang tak stabil.
“Pelan-pelan Tia…”
“Yap,” jawabku tetap mantap
“Yah, kalo sudah berkeluarga atau yang ingin berkeluarga, baiknya tidak kerja di tambang ya Tia. Apalagi, kontrak kerjanya itu… jadi tertunda nikahmu,” Murni tertawa dan menyiku lenganku.
Aku menatap langit malam, bintang tak Nampak. Bulan apalagi. Bersembunyi entah di langit mana.
Tiba-tiba aku ingat, pesan Akbar calon suamiku, yang melamarku dua pekan lalu. Yang dengan rela menunggu habis kontrak kerjaku untuk segera menikah.
“Jika kau rindu, keluarlah memandang langit. Kita punya langit yang sama. Katakanlah pada langit tentang rindu itu. Langit akan membawa pesan rindu itu padaku…”
Aku menghela nafas panjang, tersenyum. Akbar sosok lelaki sholeh yang melamarku ini, walau aku baru mengenalnya, ada kemantapan di hatiku dan mamah menyukainya. Aku siap menikah jika memang mamah setuju.
“Iya, Mah… aku selesaikan kontrak kerjaku. Aku siap jika Mamah setuju,” aku mengiyakan keputusan besar itu.
Tapi hujan malam itu begitu derasnya. Gemuruh petir dan hujan yang rebutan jatuh ke bumi. Tak mampu melawan takdir yang digariskan…
Bukit dan tanah tak stabil, tak aku sadari terus bergemuruh hingga aku tak mampu membedakan suara petir, hujan ataukah bukit yang pelan-pelan runtuh saat kami melewati jalan sepi dan licin itu…
Hingga akhirnya…
Entah, bagaikan batu besar menimpa mobil kami. Begitu kuatnya. Keras menghantap kepalaku, menghantam tubuhku.
Aku teriak sekuat tenaga, memanggil Murni. Berteriak takbir dan meminta tolong. Tak ada yang mendengarku.
Bahkan berhari-hari, aku terbaring berselimut timbunan tanah. Tak ada yang tahu dan mendengar jeritanku.
Aku menatap langit datar pagi itu. Hujan masih agak deras. Airnya menggenangi tubuhku yang memerah darah. Lambat-lambat aku dengar suara orang bertakbir menemukanku. Ada suara yang sangat aku kenal dan hangat dalam hidupku, Mamah. Mamah menangis tersedu memanggil namaku. Aku duduk dan menatapnya sendu. Ia tak melihatku. Murni berteriak-teriak memanggil namaku. Aku berteriak menjawabnya, tapi ia pun tak mendengarku.
Akbar, calon suamiku yang sabar itu mengangkat tubuhku. Ada bening air matanya jatuh terasa olehku. Maaafkan aku…
Semua, maafkan aku… Mungkin ini takdir terindah untukku, walau aku belum memenuhi semua keinginan Mamah.
Aku masih terdiam melihat semua dalam bayangan kelabu, sebuah media koran terbang ke arahku..
TIA PEKERJA TAMBANG PEREMPUAN ITU TELAH DITEMUKAN. TEWAS TERTIMPA TIMBUNAN BUKIT MALAM ITU.
Aku masih terdiam. Baru aku sadari aku sudah berada di dunia lain. Aku berusaha tersenyum, sebagai senyum terakhirku untuk Mamah, Akbar dan Murni sahabatku dan ribuan pekerja tambang di kotaku. ***