Oleh:
Muhammad Faiq Fedayeen
Menteri Koordinator Bidang Pengembangan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya 2025
Ramadan adalah bulan yang selalu dimaknai sebagai waktu refleksi dan perbaikan diri, baik secara individu maupun kolektif sebagai sebuah bangsa.
Di bulan ini, umat Islam berlomba-lomba meningkatkan nilai keimanan dan ketakwaan, menahan hawa nafsu, serta menanamkan kesabaran dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan.
Bagi para pemimpin dan penyelenggara negara, Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk lebih mendekatkan diri kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, serta kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Namun, realitas yang terjadi justru bertolak belakang dengan semangat tersebut.
Di saat masyarakat sibuk menjalankan ibadah puasa dan bersiap menyambut Lebaran, pemerintah dan DPR secara senyap mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI menjadi Undang-Undang.
Pengesahan UU ini dilakukan dengan tergesa-gesa, seolah mengikuti ambisi politik para elite tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap demokrasi.
Bukan hal baru jika momen Ramadan kerap dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meloloskan kebijakan kontroversial dengan harapan minimnya gelombang protes dari masyarakat. Di tengah fokus publik yang lebih tertuju pada ibadah dan persiapan mudik, proses legislasi yang seharusnya berjalan dengan transparan dan penuh pertimbangan justru dilakukan secara kilat, tanpa ruang diskusi yang memadai.
Alih-alih menjadikan Ramadan sebagai waktu untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi dan kebijaksanaan, para elite justru terburu-buru mengesahkan RUU ini, seakan mengikuti nafsu politik elektoral mereka sendiri. Hasilnya, supremasi sipil semakin terpinggirkan, sementara dominasi militer dalam urusan sipil kembali diperkuat.
Kembalinya Peran Militer dalam Ranah Sipil
Salah satu aspek paling kontroversial dalam UU TNI yang baru ini adalah semakin luasnya ruang bagi militer untuk berperan dalam jabatan-jabatan sipil. Dengan dalih “penugasan di luar tugas pertahanan,” UU ini memberi peluang bagi perwira aktif maupun purnawirawan TNI untuk menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, BUMN, serta sektor-sektor vital lainnya.
Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang bertujuan untuk membatasi keterlibatan militer dalam kehidupan sipil serta memastikan bahwa pemerintahan tetap berada di tangan rakyat melalui mekanisme demokratis.
Reformasi 1998 bukan hanya sekadar pergantian rezim, tetapi juga sebuah komitmen besar untuk meletakkan supremasi sipil sebagai fondasi utama dalam tata kelola negara.
Penghapusan Dwifungsi ABRI kala itu bukan tanpa alasan: selama puluhan tahun, keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan telah menciptakan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, membatasi kebebasan sipil, serta merusak prinsip akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan.
Kini, dengan disahkannya UU TNI yang baru ini, kita seolah melangkah mundur menuju masa di mana militer kembali memiliki pengaruh yang sangat besar dalam urusan sipil.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer seharusnya tunduk sepenuhnya pada otoritas sipil dan tidak memiliki peran dalam pengambilan kebijakan publik. Namun, dengan adanya regulasi baru ini, batasan antara sipil dan militer semakin kabur.
Kita harus bertanya: apakah pengangkatan perwira TNI dalam jabatan sipil benar-benar karena faktor kompetensi, ataukah ini adalah bentuk kooptasi politik untuk semakin memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan? Jika supremasi sipil benar-benar dijunjung tinggi, maka pengisian jabatan publik seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan berbasis meritokrasi, bukan dengan memberikan jalan pintas bagi militer untuk menguasai birokrasi.
Ancaman terhadap Demokrasi dan Hak Sipil
Pengesahan UU ini juga semakin memperbesar peluang militer untuk terlibat dalam keamanan dalam negeri, sebuah hal yang berpotensi merusak prinsip demokrasi dan membahayakan hak asasi manusia.
Dalam negara demokratis, urusan keamanan dalam negeri seharusnya menjadi ranah kepolisian, bukan militer. Namun, dengan adanya aturan baru ini, TNI kini memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk terlibat dalam operasi keamanan domestik, termasuk dalam menghadapi potensi ancaman terhadap “stabilitas nasional.”
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika militer diberikan kewenangan lebih dalam mengurusi keamanan dalam negeri, yang terjadi bukanlah peningkatan rasa aman bagi masyarakat, tetapi justru meningkatnya potensi pelanggaran hak asasi manusia. Dari era Orde Baru hingga berbagai konflik di Papua dan daerah-daerah lain, kehadiran militer dalam urusan domestik sering kali diwarnai oleh pendekatan represif yang justru memperburuk situasi.
Dengan disahkannya UU ini, kita harus bersiap menghadapi kemungkinan bahwa tindakan-tindakan represif tersebut bisa semakin dilegalkan, dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan negara.
Lebih jauh, pengesahan UU ini juga mengindikasikan semakin melemahnya peran lembaga legislatif sebagai pengawas kebijakan eksekutif. DPR, yang seharusnya berfungsi sebagai check and balance dalam sistem demokrasi, justru bertindak sebagai lembaga yang hanya melegitimasi agenda pemerintah tanpa adanya kajian mendalam dan kritik yang memadai.
Minimnya perdebatan publik terkait UU ini semakin memperjelas bahwa proses legislasi kita masih jauh dari prinsip keterbukaan dan partisipasi rakyat.
Kemana Arah Demokrasi Indonesia?
Jika tren ini terus berlanjut, maka kita patut mempertanyakan: apakah Indonesia masih berada di jalur demokrasi, atau justru sedang bergerak mundur ke arah otoritarianisme? Sejumlah indikator menunjukkan bahwa kita sedang mengalami regresi demokrasi yang cukup serius. Dari semakin kuatnya dominasi militer dalam pemerintahan, meningkatnya penggunaan aparat dalam menangani masalah-masalah sipil, hingga semakin lemahnya kebebasan berekspresi dan kritik terhadap pemerintah—semua ini merupakan tanda-tanda kemunduran demokrasi yang nyata.
Momentum Ramadan yang seharusnya menjadi refleksi bagi bangsa ini justru dimanfaatkan sebagai celah untuk meloloskan kebijakan yang berpotensi merusak tatanan demokrasi. Kita tidak boleh membiarkan supremasi sipil terus dikebiri dan supremasi TNI semakin disambut tanpa kritik.
Demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata di era reformasi kini berada di persimpangan jalan. Jika kita tidak bersuara, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, demokrasi hanya akan menjadi slogan kosong, sementara keputusan-keputusan penting negara berada di tangan mereka yang berseragam.
Sejarah telah mengajarkan bahwa kekuasaan militer dalam pemerintahan selalu berujung pada pembatasan kebebasan sipil dan pereduksian hak-hak politik rakyat. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama hanya karena membiarkan penguasa merancang kebijakan yang semakin menjauhkan kita dari cita-cita reformasi.
Jika supremasi sipil terus dilemahkan, maka demokrasi yang kita banggakan hari ini bisa saja berubah menjadi otoritarianisme dalam kemasan baru. (*)