Cerpen: Muthi’ Masfu’ah
Malam masih membelah bumi, saat suara Ustadz Edi dengan tekun mengajari kami mengaji di musala. Kupandangi wajah teduh bertubuh besar itu dengan lekat. Sabar banget Ustadz Edi, padahal terlihat kantung mata lelahnya yang tak dapat disembunyikan, batinku malam itu. Haru melihatnya. Apalagi tak semua santri pandai mengaji. Apalagi tak semua santri berasal dari keluarga yang didik secara Islami di rumahnya. Tiba-tiba…
“Ustadz, mana HP kami?!” teriak Anto menahan marah, entah tiba-tiba berteriak kasar, saat kami menyimak Ustadz Edi mengajarkan konsep mengaji.
Santri lain yang duduk melingkar di musala malam itu kaget seketika. Siapa yang tidak tahu Anto, santri berwatak keras dan sering kasar kepada kami. Jangankan kepada Ustadz, sesama santri saja demikian tidak santunnya.
Aku menunduk. Santri lain terdiam.
“Ustadz, mana HP kami?” teriak Toni keras di depan ustadz Edi.
Ya Allah, Toni sama saja dengan Anto, tak santun sama sekali, batinku mengutuknya malam itu.
Entah apa yang disampaikan Ustadz Edi, hingga Anto dan Edi keluar musala malam itu dengan wajah keruh bercampur jengkel. Kami hanya bisa menunduk.
HP lagi, HP lagi… Upsss memang gak bisa hidup tanpa HH? Aku terus membatin…
Malam itu masih terdengar suara jangkrik di luar sana, bersahut-sahutan. Entah seolah menjadi malam mencekam terasa di hatiku. Aku memandang sekelilingku. Aku memandang dinding-dinding, wajah-wajah santri melantunkan irama indah di kalbuku… Al Fatihah…
Allah, aku melihat darah bercecer di lantai. Banyak. Banyak sekali. Aku pucat. Allah. mataku pejamkan lekat-lekat. Aku mendengarkan suara takbir, suara kesakitan yang sangat. Darah-darah itu kocar-kacir di lantai, di… Allah… Aku istiqfar berkali-kali… mata inderaku terbuka lagi… tidak, tidak… aku tidak mau jadi anak indogo lagi.
Allah, aku melihat wajah Ustadz Edi berlumuran darah malam itu.
“Tidakkkkk… Allah…,” teriakku keras memecah kesunyian di musala dan senyap malam itu. Aku pingsan lagi. Aku dengar suara sabar Ustadz Edi mencoba menyadarkanku, menepuk pipiku.
Aku dengar… Aku dengar… Tapi aku tak kuat… Air mataku menetes dalam pingsan… Allah apa yang terjadi esok pagi? Mataku hanya melihat merah… Merah darah dimana-mana… Setelah itu aku benar-benar tak ingat apa-apa lagi.
*
Aku baru sadar, ketika subuh itu. Aku berada di ruang UKS lagi. Entah kesekian kalinya.
Suara azan begitu sahdu memanggilku subuh itu. Begitu sahdu. Tapi entah mencekam hatiku. Aku masih ingat kejadian malam tadi.
“Ahmad, sudah bangun? Gak pusing lagi?” tanya Fatih, sahabatku yang setia menemani aku, saat sering pingsan begini.
“Alhamdulillah…” suaraku datar.
“Kamu melihat apalagi Ahmad? Tapi kemampuan indogomu sudah berkurang kan masuk pondok kita ini?” tanya Fatih bertubi-tubi.
Aku mengangguk lemah. “Alhamdulillah, aku sudah tak melihat makhluk yang aneh-aneh lagi. di pondok ini aku bisa tenang Fatih. Hanya saja, aku masih bisa melihat kejadian-kejadian.”
“Kejadian apa Ahmad?”
Aku memandangnya. Fatih mengguncang tubuhku. Mataku berkaca. Hanya Allah yang tahu jawabnya.
“Ayo kita ke musala, azannya sudah hampir selesai,” tanganku menarik tangan Fatih, ia masih bingung.
Tak lama kami berlarian ke musala, seperti biasanya.
Aku duduk bersila bersama santri lain, melantunkan dzikir pagi itu. Aku terus menenangkan hati. Memejamkan mataku yang berkaca.
“Ustadzz… Ustadzzz…” teriak beberapa santri berlarian masuk ke musala dengan wajah pucat.
Ustadz Maulana yang memimpin dzikir pagi itu seketika berdiri.
“Ustadz Edi… Ustadz Edi…”
“Ustadz Edi dipukuli santri…”
Ustadz Maulana panik pucat dan berlari keluar mushola , diikuti semua santri. Mengikuti santri yang melapor.
Dadaku berdegup kencang.
Berkali-kali aku beristiqfar. Merah-merah dimana-mana. Aku berteriak sejadi-jadinya, takbir sekuat-kuatnya.
Mataku datar melihat, sesosok tubuh kekar dan sabar itu. Bersimbah darah di kepalanya. Entah berapa sobekan di dahinya.Tergeletak di pinggir jalan. Tak bergerak. Tak bergerak sama sekali.
Brukkkk aku pingsan, tak kuasa melihat semuanya.
***
Aku masih terbaring lemah di ruangan putih ini lagi.
“Ahmad… lihat ini,” Fatih dengan suara menahan tangis melihatkan print berita dari media sosial untukku.
Mataku terkesiap membaca berita itu.
TAK TERIMA HP DISITA, 2 SANTRI BUNUH GURU PESANTREN
Tak terima HP disita, 2 Santri inisial A dan T di Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) tega mengeroyok E (43) guru pesantren tempat mereka menimba ilmu. Penyebabnya, AA dan HR tidak terima karena HP miliknya disita oleh korban saat belajar.
“Pelaku kesal lantaran handphone di sita korban, hingga terjadi penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dunia,” jelas Polsek Sungai Pinang, Kompol Irwanto, saat dikonfirmasi, Rabu (23/2/2022).
Peristiwa penganiayaan itu terjadi pada Rabu (23/2) di Jalan Assadah, Samarinda. Usai E selesai beribadah di masjid, di jalan pulang ke rumah, E pun telah ditunggu oleh T yang mengajak A untuk meminta ponsel milik HR dikembalikan.
“Korban tidak memberikan Handphone tersebut. Yang akhirnya pelaku kesal langsung mengeroyok korban, dengan menggunakan balok,” ungkapnya.
Usai mengeroyok, kedua remaja pun langsung meninggalkan korban yang sudah terkapar, beberapa waktu kemudian, seorang warga yang melihat korban langsung membawanya ke rumah sakit dan melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian.
“Jadi ada satu saksi yang melihat korban sudah terkapar langsung segera membawa korban menuju rumah sakit. Tepat pukul 07.30 Wita, korban akhirnya meninggal dunia,” Kata Irwanto.
Aku tak melanjutkan membaca berita itu. Mataku berkaca.
Allah, tega sekali. Dimana hatimu teman.
Mata batinku terus menangis, tak terbendung lagi. Suara teduh itu tak akan terdengar lagi, berirama dalam mushola dan kelas-kelas kami. Tak salah Ustadz Edi menyita HP Santri. Karena diingatkan berkali-kali, mereka berdua tidak menggubris.
Pondok ini bukan pabrik mengubah akhlaq santri dalam kilatan waktu. Apalagi mereka bukan dari sekolah yang sama seperti kami. Berkali-kali kami melihat sabar para ustadz membimbing dan menasehati kami. Dalam peluh dan lelah mereka yang dapat kami rasakan yang tak sebanding dengan materi yang mereka punya. Yang tak sebanding dengan ribuan peluh mereka yang jatuh membasahi tanah pondok ini untuk kami para santri.
Ustadz Edi, kami selalu merindukanmu. Suara teduh, tegas dan sabarmu. Pesan-pesan indahmu menghiasi hati-hati kami yang selalu merindu.
Ustadz Edi, jika engkau lebih dulu menginjak indahnya surga diakhirat kelak. Karena keunggulan amalmu. Carilah kami. Carilah kami para santrimu. Para santri yang merindukanmu… kami ingin berkumpul di surga terindahMu… ya, bersamamu Ustadz Edi.
Siang itu begitu terik, matahari begitu tajam menyinari hati-hati kami yang pilu.. mataku bathinku terus berkaca… entah sampai kapan… mungkin menunggu waktu untuk bertemu sosok yang kami rindu… Ustadz Edi..
*) Penulis adalah Direktur Pelaksana Harian Yayasan RK Salsabila, Ketua Komunitas Guru Kreatif Suka Menulis, Kampung Dongeng Bontang dan Ketua Abi Literasi Kaltim