Emirza, M.Pd
(Pemerhati Sosial)
Mendekati bulan puasa, harga beberapa sembako di pasar tradisional mulai mengalami kenaikan. Ifah, pedagang sembako di pasar Tradisional Rawa Indah mengatakan, sebagian barang dagagannya mengalami kenaikan beberapa waktu terakhir ini.
Harga tepung terigu per dus rata-rata Rp 200 ribu lebih, naiknya sampai Rp 20 ribu. Tidak ada lagi beras yang perkilonya dengan harga Rp 10 ribu, sekarang setidaknya Rp 13 ribu sampai Rp 15 ribu, tergantung merek. (radarbontang.com, 10/2/2023)
Harga sejumlah komoditas bahan pangan pokok naik seperti cabai, minyak goreng, gula pasir kualitas premium, dan daging ayam ras segar. Kenaikan tersebut terjadi 20 hari jelang bulan puasa atau Ramadan.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, rata-rata harga cabai merah besar secara nasional mencapai Rp 42.200 per kilogram, pada Jumat (3/2). Angka tersebut naik dibandingkan pada bulan lalu yang mencapai Rp 36.250 per kg. (katadata.co.id, 3/3/2023)
Akar Masalah
Seolah-olah menjadi hal yang wajar ketika terjadi kenaikan harga pangan menjelang Ramadhan. Hal ini menunjukkan, kebijakan atau implementasi teknis yang dijalankan tidak menyentuh akar masalah. Seperti, kebijakan operasi pasar.
Hal ini wajar karena sebelum terjadi lonjakan harga, tidak ada tindakan atau kebijakan preventif/pencegahan. Contohnya, untuk tidak terjadi monopoli harga dan stok di pasar. Solusi impor bahan pangan juga tidak menyelesaikan masalah.
Masalah melambungnya harga bahan pokok setiap akhir tahun adalah ritme yang terus berulang. Hal ini menandakan, belum ditemukannya akar masalah. Bila sudah ditemukan akar masalah, maka tidak mungkin akan berulang peristiwa yang serupa.
Berton-ton beras sisa impor tahun lalu yang menumpuk di gudang Bulog menunjukkan, bukan karena kurangnya jumlah pasokan beras. Tetapi, menunjukkan distribusi beras yang tidak merata di tengah-tengah masyarakat.
Perbedaan harga beras di suatu daerah dengan daerah lain yang ada di Indonesia, menunjukkan tidak ada kontrol/monitoring terhadap para pengusaha beras, yang di dorong dari politik monopoli perdagangan untuk meraih keuntungan setinggi-tingginya.
Mekanisme impor beras tidak memperhatikan pertimbangan dikalangan petani, yang akan jatuh masa panen pada Februari 2023. Kedatangan beras impor tahun 2022 sebesar 300ribu ton di bulan Februari, bertepatan dengan masa panen para petani. Akhirnya harga beras petani pun anjlok/murah. Para petani tidak menjadi perhatian arah kebijakan pihak penguasa.
Dominasi Kapitalis
Ada dua faktor penyebab naiknya harga sembako, yakni faktor alami seperti banjir atau kemarau dan sebagainya. Faktor kedua karena penyimpangan terhadap syariat Islam seperti penimbunan (ihtikar), permainan harga (ghabn alfahisy), suplai yang tidak merata hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada ‘penjajahan’ ekonomi.
Problematik pangan (termasuk lonjakan harga yang terjadi berulang) bukanlah sekadar persoalan di tataran regulasi teknis, melainkan berpangkal dari konsep pengaturan berparadigma sistem kapitalisme neoliberal.
Penerapan paradigma ini menyebabkan negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan. Peran pemerintah sekadar regulator dan fasilitator, bukan lagi penanggung jawab.
Akibatnya, pengadaan kebutuhan dasar rakyat diambil alih korporasi yang menjadikan proyek untuk mengambil keuntungan. Pada sektor pertanian dan pangan ini, misalnya, muncullah perusahaan-perusahaan raksasa, yang menjadi perusahaan integrator menguasai seluruh rantai usaha pengadaan pangan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Pada sektor produksi pertanian, setidaknya 10 korporasi raksasa menguasai produksi benih, pupuk, pestisida, dan saprotan lainnya. Kapitalisasi ini menyebabkan banyaknya pertanian rakyat yang bangkrut karena tidak bisa bersaing.
Kapitalisasi dalam hal importasi pangan memunculkan segelintir korporasi yang akhirnya menimbulkan oligopoli. Praktik oligopoli memberikan celah besar untuk melakukan kartel. Contohnya, impor kedelai mayoritas dikuasai oleh PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Cargill Indonesia.
Menurut catatan KPPU, PT Cargill Indonesia menguasai 74,66% pasokan kedelai ke dalam negeri pada 2008. Begitu pula importir bawang putih terbesar yang dikuasai tujuh korporasi. Importasi gula yang ditargetkan sebesar 3,4 juta ton ini juga dikuasakan kepada 11 korporasi.
Negara absen dalam pengaturan rantai distribusi pangan maka para spekulan/mafia panga, yang sebagiannya korporasi pangan itu sendiri menjadi tumbuh subur. Praktik spekulasi dan kartel pangan susah dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah.
Penimbunan bahan pangan berakibat melambungnya harga sehingga sulit ditertibkan. Melonjaknya harga telur saat ini tidak terlepas dari keberadaan korporasi integrator yang menguasai rantai penjualan produk-produk peternakan sehingga merusak harga pasar.
Dengan dominasi sektor pangan di tangan semua korporasi, bagaimana mungkin pemerintah mampu menstabilkan harga pangan ketika mayoritas pasokan pangan tidak berada dalam kendali negara?
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan pernah menyatakan, sulit bagi pemerintah menstabilkan harga sebab pemerintah tidak dapat menguasai 100% produksi pangan. Sebaliknya, pemerintah malah bergantung pada korporasi.
Dengan konsep good governance dalam negara neoliberal, ketika lembaga negara BUMN/BUMD hadir untuk menstabilkan harga pangan, kehadirannya justru sebagai korporasi yang bertujuan mencari untung. Maka tidak aneh ketika BUMN bertransformasi menjadi holding company dan bertujuan memperbesar keuntungan, bukan lagi melayani hajat rakyat.
Penegakan sanksi yang lemah makin meleluasakan para pelaku kejahatan pangan. Sanksi yang dijatuhkan tidak berefek jera dan sifatnya tebang pilih. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, tetapi para kartel dan mafia kelas kakap sulit ditindak.
Selama tata kelola pangan masih menggunakan konsep kapitalisme dengan absennya peran negara, stabilitas harga pangan mustahil terwujud. Apalagi paradigma yang digunakan dalam mengatasi lonjakan harga sekadar menurunkan angka inflasi, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Solusi dari Islam
Secara individual, bagi diri orang yang beriman apapun penyebab mahalnya harga kebutuhan, ia harus meyakini bahwa Allah yang memberi rezeki. Sabar dan berbaik sangka kepada Allah SWT, dan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan cara yang Allah SWT ridai.
Secara sistemik, Islam sudah menuntun jawabannya. Bila penyebab kenaikan harga karena terganggunya suplai, artinya terjadi kelangkaan barang sementara permintaan besar, maka negara harus mencari suplai dari daerah lain untuk dipasok ke daerah yang mengalami kelangkaan tersebut.
Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab r.a pada akhir tahun 17 H saat di Madinah terjadi paceklik, khalifah meminta kepada Amr bin Ash gubernur Mesir saat itu untuk mendatangkan komoditas kebutuhan masyarakat ke Madinah. Jika seluruh daerah dalam negeri mengalami hal yang sama, maka diambillah kebijakan impor.
Jika masalah harga disebabkan penyimpangan terhadap syariat seperti penimbunan (ihtikar) dan permainan harga (ghabn alfahisy), maka negara akan melakukan inspeksi sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW.  Memberi sanksi kepada para pelakunya. Para pebisnis/pedagang akan diuji untuk dipastikan pemahaman mereka tentang bisnis/dagang yang benar.
Negara juga memiliki kendali dan andil yang besar dalam memastikan suplai yang merata. Dimana di dalam sistem ekonomi kapitalisme hari ini abai akan hal ini, karena liberalisasi dan kebebasan kepemilikan termasuk kebebasan berproduksi dan mendistribusi.
Bagi sistem ekonomi kapitalisme tumpuannya adalah produksi dan produksi tanpa memperhatikan halal-haram barang yang diproduksi maupun pemerataan distribusinya. Di dalam al Quran Surat al Hasyr, Allah SWT berfirman yang artinya: ‘agar harta itu tidak beredar diantara orang-orang kaya saja…’
Segala sesuatu yang menyimpang pada syariat, akan menimbulkan kesulitan, persoalan dan kesengsaraan. Allah SWT berfirman dalam Surat Thaha ayat 124, yang artinya: ‘’Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.’’
Sebagaimana Allah firmankan dalam wahyu terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam surat Al Maidah ayat 3Â “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu..”, islam adalah agama yang sempurna yang memiliki aturan kehidupan termasuk mengatur perekonomian negara.
Terkait pengurusan urusan umat/masyarakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan penguasa karena Allah akan meminta pertanggungjawabannya, maka para penguasa akan melakukan usaha optimal yang disejalan dengan syariat islam.
Akar masalah pertanian adalah lahan luas yang dikuasai oleh segelintir elit pengusaha. Maka dalam islam, lahan yang merupakan kepemilikan umum, haram hukumnya dikelola individu maupun swasta/korporasi. Dan wajib dikelola oleh Negara.
Negara juga memastikan pendistribusian bahan pokok kepada masyarakat secara individu per individu. Negara juga menutup celah penimbunan barang, celah monopoli yang dilakukan oleh pengusaha dan memberikan sanksi kepada mereka bila terbukti melakukan penimbunan atau monopoli.
Ketika impor dilakukan pun, hal itu disandarkan kepada pandangan para ahli, terkait teknis berapa jumlah yang akan diimpor, apa saja yang akan diimpor agak stok bahan pangan dalam negeri memadai dan lain sebagainya.
Semua itu bisa terwujud dalam suasana pemerintahan dengan sistem Islam. Karena dengan Islam saja, aturan islam yang sempurna ini bisa diterapkan dalam kehidupan.
Wallahu’alam bisshawab.