spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Harga Beras Meroket, Serius Cuma karena Gagal Panen?

Djumriah Lina Johan

(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Harga komuditas beras di Bontang terus merangkak naik. Gejolak kenaikan harga beras ini berlangsung sejak Januari hingga per hari ini, Kamis (16/2/2023). Disinyalir kenaikan harga diakibatkan gagal panen lantaran cuaca buruk. Bahkan diperkirakan harga beras masih akan terus melonjak hingga beberapa bulan kedepan. (Tribun Kaltim, Kamis, 16/2/2023)

Benarkah Hanya karena Gagal Panen?

Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Bank Dunia menyebut harga beras di Indonesia selama satu dekade terakhir secara konsisten adalah yang termahal dibandingkan negara Kawasan Asia Tenggara (ASEAN) lainnya.

Harga beras Indonesia 28% lebih mahal dari Filipina, bahkan dua kali lipat dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. (Laporan terbaru Bank Dunia “Indonesia Economic Prospect (IEP) December 2022”).

Dari sini saja sudah terlihat bahwa propaganda yang dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat, bahwa kenaikan harga beras akibat gagal panen lantaran pengaruh cuaca telah terbantahkan.

Apalagi jika ditelisik lebih mendalam, yakni adanya akumulasi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Kebijakan yang demikian tidak bisa pula dilepaskan dari penerapan ekonomi kapitalisme—diakui atau tidak—telah menjadi pakem dalam melahirkan seluruh kebijakan.

Kebijakan intensifikasi pertanian, misalnya, malah makin membuat lesu produktivitas pertanian. Pengurangan subsidi pada pupuk, benih, dan saprodi jelas membuat ongkos produksi jadi makin mahal.

Pada saat yang sama, kebijakan impor pangan malah dibuka lebar-lebar.

Walhasil, harga pangan lokal kalah bersaing dari harga pangan impor. Jika sudah begitu, gairah petani untuk menanam pun memudar.

Terjadilah penurunan produksi yang menyebabkan ketersediaan pangan turut berkurang. Bukankah ini ancaman bagi kedaulatan pangan?

Kebijakan ekstensifikasi pertanian juga tidak sejalan dengan cita-cita swasembada pangan nasional. Alih fungsi lahan pertanian besar-besaran untuk pemukiman real estate, ataupun pembangunan jalan dan kawasan industri, malah makin masif. Bukankah ini pula penyebab menurunnya produksi pangan?

Selain kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, kebijakan yang dilandasi sistem ekonomi kapitalisme hanya berfokus pada produksi, sedangkan distribusinya diserahkan pada mekanisme pasar.

Uang menjadi pengendali tunggal dalam distribusi. Akhirnya, pangan hanya akan mengalir lancar pada orang mampu, tetapi tidak pada kaum miskin.

Seluruh kebijakan yang berlandaskan sistem ekonomi kapitalisme ini, didukung dengan sistem pemerintahan demokrasi yang rapuh yang hanya bisa menghasilkan penguasa rasa pengusaha. Seperti terkait memberantas mafia beras, pemerintah seolah mandul dan kondisi ini telah nyata membuat rakyat menderita.

Baca Juga:   Pengecekan Barang Titipan Besuk Tahanan

Islam Solusi Tuntas Kedaulatan Pangan

Sistem negara Islam, yaitu Khilafah, memiliki sejumlah mekanisme bagaimana mewujudkan kemandirian pangan.

Pertama, mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.

Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini.

Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Ketiga, manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.

Keempat, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Kegiatan ekspor impor merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya.

Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan.

Kelima, prediksi cuaca. Yaitu, kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Sebagai bentuk antisipasi perubahan cuaca ekstrem dalam mempengaruhi produksi pangan negeri.

Keenam, mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya.

Itulah beberapa langkah strategis negara Khilafah dalam mengatasi persoalan pangan. Dengan kebijakan yang tersistematis, pangan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyat akan terpenuhi tanpa harus khawatir harganya meroket.

Sebagai contoh riil, dikutip dari Republika, masa kekhalifahan merupakan masa kejayaan penerapan sistem ketahanan pangan.

Umar bin Khaththab menerapkan inovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Kawasan delta Sunga Eufrat dan Tigris serta daerah rawa sengaja disulap dengan dikeringkan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan itu diteruskan hingga Dinasti Umayyah. Swasembada pangan dengan sistem khilafah itu sangat logis, riil, dan aplikatif.

Selain itu, dalam Alquran dicontohkan bagaimana Nabi Yusuf  membangun ketahanan pangan.  Nabi Yusuf berhasil menterjemahkan mimpi raja Mesir tentang 7 sapi kurus dan 7 sapi gemuk, dengan tafsiran siklus ekonomi 7 tahunan negeri Mesir saat itu, yaitu akan terjadi 7 tahun masa panen yang subur dan disusul 7 tahun masa kering paceklik dan kemudian subur kembali.

Baca Juga:   Lapas Over Kapasitas, Bukti Hukuman Tidak Menjerakan

Oleh Nabi Yusuf, tidak semua produk pangan di masa subur akan dikonsumsi, tetapi ada yang disimpan untuk cadangan.  Untuk itu perlu dikembangkan teknik pengawetan pangan, sistem sirkulasi, standar bangunan penyimpanan pangan, serta pegaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat, merupakan komponen yang harus diperhatikan sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan negara.

Setidaknya ada lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang digagas dan diterapkan oleh Nabi Yusuf AS yang pernah dijalankan di masa yang panjang dari Kekhilafahan Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang.

Pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok.

Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.

Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan.  Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatan persoalan limbah.

Nabi juga mengajarkan agar seorang mukmin baru “makan tatkala lapar, dan berhenti sebelum kekenyangan”.

Ketiga, manajemen logistik, dimana masalah pangan beserta yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang.  Di sini teknologi pasca panen menjadi penting.

Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intesitas sinar matahari yang diterima bumi.

Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan.  Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu.

Sebagian ilmuwan pertanian dalam sejarah Islam menuliskan semua prinsip ketahanan pangan itu nyaris dalam satu buku.  Di dalamnya, dibahas soal jenis lahan pertanian dan pilihan tanah, pupuk kandang dan pupuk lain, alat pertanian dan karya budidaya, sumur, mata air, saluran irigasi, tanaman, pembibitan, penanaman, pemangkasan, dan pencangkokan buah.

Baca Juga:   Teknologi Wolbachia, Mampukah Atasi DBD Tanpa Resiko?

Mereka juga membahas soal budidaya serealia, kacang-kacangan, sayuran, bunga, umbi-umbian, dan tanaman untuk parfum. Pun, tentang tumbuhan dan hewan beracun serta pengawetan buah.  Bahkan tentang fiqih pertanahan dan akhlak petani.

Khilafah juga mengembangkan iklim yang kondusif bagi penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. Banyak laboratorium perpustakaan dan lahan-lahan percobaan dibangun.

Para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian, selain penghargaan atas karya mereka. Lalu lahirlah banyak sekali ilmuwan pelopor di bidang pertanian.

Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al-Awwan, tinggal di Sevilla. Ia menulis buku Kitab al-Filahah yang menjelaskan rincian tentang hampir 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan, hama dan penyakit serta penanggulanganya, teknik mengolah tanah: sifat-sifat tanah, karakteristik dan tanaman yang cocok; juga tentang kompos.

Ada juga Abu al-Khair, seorang ahli pertanian abad-12. Ia menulis dan menjelaskan empat cara untuk memanen air hujan dan membuat perairan buatan. Khair menegaskan perlunya penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek. Ia juga menguraikan teknik pembuatan gula dari Tebu.

Ahmad al-Muwairi dalam bukunya Nihayah al-Arab fi Funun al-Adab menjelaskan, pada masa itu juga telah berkembang industri gula yang didukung oleh perkebunan tebu di Faris dan al-Ahwaz, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Laut Tengah. Ia juga menginformasikan penggunaan bajak berat (maharit kibaar) yang digunakan sebelum penanaman tebu.

Ada pula ahli pertanian dari Damaskus, Riyad ad-Din al-Ghazni al-Amiri (935/1529). Dia menulis sebuah buku tentang pertanian yang terperinci.

Ibnu Bassal (1038-1075), seorang ilmuwan di Andalusia, memelopori penggunaan teknologi “flywheel” (roda gila) untuk meningkatkan. kemampuan Na’ura (roda kincir air). Teknologi kincir termasuk kincir angin sudah dijelaskan dalam Kitab at-Hiyal karya Banu Musa bersaudara abad ke-3 H (9 M).

Muhammad bin Zakaria ar-Razi dalam kitabnya al-Hawi (abad X M), menggambarkan kincir air di Irak yang bisa mengangkat sebanyak 153.000 liter perjam, atau 2.550 liter permenit. Buku ini juga menggambarkan output dari satu kincir air dengan ketinggian 5 meter di Irak dapat mencapai 22.000 liter perjam.

Wallahu ‘alam.

Most Popular