Oleh:
Emirza Erbayanthi, M.Pd
(Aktivis Muslimah dan Pemerhati Sosial)
Pasien BPJS Bontang banyak yang nunggak. Direktur RSUD Bontang mengatakan bahwa meskipun banyak pasien BPJS menunggak, pihaknya tetap berkomitmen untuk melayani masyarakat. Namun, situasi ini menjadi beban tersendiri bagi rumah sakit karena biaya pelayanan terus berjalan.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi B DPRD menyarankan agar pasien BPJS mandiri yang menunggak mengubah status mereka menjadi peserta BPJS yang ditanggung oleh pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa tunggakan sebelumnya tetap harus dilunasi, meskipun dengan cara dicicil. Dikutip dari kitamudamedia
Layanan Kesehatan ala Kapitalis
Mahalnya biaya kesehatan mempersulit masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik. Walaupun pemerintah membuat program BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan, ternyata justru menimbulkan masalah. Ini terlihat dalam aturan BPJS yang berlaku.
Pertama, pasien BPJS tidak bisa langsung berobat ke rumah sakit sesuka hati. Mereka diwajibkan untuk memeriksa, mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama dan jika tidak mampu ditangani baru bisa dirujuk.
Kedua, BPJS hanya menutupi penyakit-penyakit dan kondisi kegawatan tertentu di IGD, seperti serangan jantung, stroke, dan kejang, sedangkan batuk pilek tidak akan ditanggung.
Ketiga, minim ruang rawat inap. Hal ini dikeluhkan oleh pasien yang tidak mendapat kamar jika menggunakan BPJS, sedangkan pasien yang memilih umum bisa mendapatkan kamar. Artinya, pasien BPJS harus berebut kamar dengan banyak orang.
Keempat, obat-obatan yang ditanggung BPJS dirumuskan dalam Formularium Nasional. Untuk obat-obatan yang berkualitas, biasanya mahal dan tidak dalam tanggungan BPJS.
Sedihnya, walaupun iuran BPJS rutin dilunasi, tetapi kualitas pelayanan kesehatan belum sesuai harapan. Jadi, jangan bandingkan pelayanan BPJS dengan pembayaran pribadi atau asuransi swasta karena uang yang dikeluarkan berbeda.
Kondisi seperti itulah yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Maka, dalam sistem kesehatan kapitalistik istilahnya “Anda akan memperoleh sesuai dengan apa yang Anda bayarkan”.
BPJS baik berupa iuran dari pemerintah atau perusahaan dan mandiri pembayarannya diambil dari PAD wilayah. Harusnya setiap layanan sama untuk semua masyarakat, tetapi nyatanya tetap saja minimalis.
Padahal Kaltim, khususnya di Bontang kaya akan SDAE yang merupakan kota industri. Maka seharusnya berkorelasi dengan layanan kesehatan maksimal dan gratis.
Jadi pantas saja orang berfikiran bahwa BPJS Kesehatan ialah korporasi yang menetapkan sejumlah ketentuan sesuai kepentingan bisnis. Bukan untuk kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien.
Misal, pembayaran premi dengan sejumlah prasyaratnya sebagai pengaktifan kartu BPJS jika pelayanan kesehatan akan dibayarkan BPJS.
Menurut Doktor Biomedik Rini Syafri, konsep BPJS merupakan layanan berjenjang, tagihan casemix (INA CBGs), dan penggajian kapitasi (salah satu metode pembayaran yang dilakukan kepada penyedia layanan kesehatan primer). Konsep ini hanya mengedepankan logika bisnis, bukan kesehatan dan keselamatan jiwa pasien.
Maka jelas, terjadilah menomorduakan prinsip-prinsip kebenaran ilmiah kedokteran sebagai dasar penting bagi keselamatan pasien berupa kecepatan dan ketepatan dalam diagnosis serta pengobatan. Oleh karenanya, penderitaan publik akibat perbedaan pelayanan kesehatan BPJS merupakan kelalaian negara.
Kesehatan dalam paradigma kapitalisme ialah jasa yang harus dikomersialkan. Negara sebagai regulator menjamin komersialisasi tersebut. Kita bisa mengindra pelayanan kesehatan yang tunduk pada kepentingan bisnis ini.
Lihat saja, pelayanan kesehatan terbaik hanya diberikan bagi pasien yang mampu membayar. Jadilah jaminan kesehatan kapitalis neoliberalisme benar-benar kosong dari aspek kemanusiaan. Fasilitas kesehatan bisa diubah menjadi tempat “perjudian nyawa” pasien.
Pelayanan Kesehatan dalam Islam
BPJS merupakan akad batil karena merupakan akad asuransi (at-ta’miin) konvensional yang sudah diharamkan syara. Selain itu BPJS bertentangan dengan politik kesehatan dalam Islam yang menggratiskan layanan kesehatan dari pemerintah kepada rakyat.
Maka dari itu, segala konsekuensi akad (muqtadha al-‘aqad) dari akad asuransi tersebut juga haram hukumnya, seperti pemanfaatan BPJS untuk mendapat layanan kesehatan gratis dari pemerintah.
Kaidah fikih menyebutkan, “Idza saqatha al-ashlu saqatha al-far’u (jika perkara pokok sudah gugur, gugur pula perkara cabangnya).” (M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, 1/271).
Hanya saja, keharaman pemanfaatan BPJS berubah menjadi boleh jika terjadi kondisi darurat, yakni kondisi terancamnya jiwa seseorang jika tidak melakukan yang haram. Jika kondisi seseorang belum sampai kondisi darurat ini, pemanfaatan BPJS tetap haram.
Imam Suyuthi mendefinisikan darurat sebagai berikut,
“Darurat adalah sampainya seseorang pada batas yang jika ia tidak memakan yang diharamkan, ia akan binasa (mati) atau mendekati binasa (buluughu haddan in lam yatanaawal al-mamnu’ halaka aw qaaraba).” (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha’ir, hlm. 61).
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan definisi darurat yang semakna dengan definisi Imam Suyuthi sebagai berikut,
“Darurat adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirar al-mulji’ alladzi yukhsya minhu al-halak).” (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/477).
Maka dari itu, jika menurut dokter muslim yang tsiqah, penyakit hepatitis tersebut sudah sampai pada definisi darurat, yakni kondisi terancamnya jiwa, maka berarti boleh hukumnya memanfaatkan BPJS. Jika belum sampai definisi darurat tersebut, berarti BPJS tetap haram.
Pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk seluruh rakyat tanpa memperhatikan tingkat ekonomi mereka.
Pelayanan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat. Pertama, universal. Tidak ada pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya. Rakyat tidak dipungut biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Ketiga, seluruh rakyat mudah mengakses tempat pengobatan. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis tidak dibatasi oleh plafon.
Pelayanan kesehatan dalam Islam gratis berkualitas karena sumber kekayaan negara diatur syariat banyak pos pemasukan dari kepemilikan SDAE dan sumber lainnya.
Pembiayaan kesehatan dalam sistem Islam didapatkan dari sumber-sumber pemasukan negara. Yaitu dari pengelolaan harta kekayaan umum, termasuk hutan, tambang, minyak, dan gas.
Juga dari kharaj, jizyah, ganimah, fai, usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya. Ini semua memudahkan Pemimpin Islam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan gratis bagi seluruh rakyat.
Dalam Islam, kesehatan adalah kebutuhan asasi masyarakat. Tidak boleh dikapitalisasi atau dijadikan ladang bisnis meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Hal ini pernah terterapkan pada masa Khilafah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas ra. yang menuturkan bahwa rombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Lalu dari mereka ada yang jatuh sakit di Madinah.
Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitulmal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. Khalifah Umar selaku Kepala Negara Islam juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikit pun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).
Begitulah seharusnya peran negara yaitu sebagai penyelenggara dan penanggung jawab dalam menyediakan sistem, layanan, dan fasilitas kesehatan untuk rakyat. Tidak ada pungutan dalam memenuhi kebutuhan ini. Bahkan, negara harus memberikannya secara gratis kepada seluruh lapisan masyarakat.
Wallahualam.