Oleh:
Nayla Majidah, S.Pd
Beberapa pekan yang lalu, Direktur RSUD Bontang, Suhardi mengatakan bahwa pasien BPJS banyak yang menunggak pembayaran. Meskipun demikian, pihak rumah sakit tetap memberikan pelayanan kendali masalah ini menimbulkan masalah pada operasional rumah sakit. Situasi ini menjadi beban tersendiri bagi rumah sakit karena biaya rumah sakit terus berjalan. Menurut Suhardi, hingga kini belum ada Solusi yang pasti terkait masalah tunggakan ini. Pihak rumah sakit masih berupaya mencari dana tambahan dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menutupi kebutuhan operasional.
Terkait dengan masalah ini, anggota komisi B DPRD Bontang, Winardi, menyarankan agar pasien BPJS mandiri yang menunggak mengubah status mereka menjadi peserta BPJS yang dtanggung oleh pemerintah dengan tetap melunasi tunggakan sebelumnya, meskipun dicicil.
Menyikapi persoalan pembiayan Kesehatan ini, apa sebenarnya yang menjadi persoalan utama masalah Kesehatan di Indonesia, khususnya di Bontang? Mungkinkah mewujudkan Kesehatan ini gratis bagi seluruh rakyat tanpa memandang status kaya atau miskin?
Kesehatan Gratis Tanggung Jawab Negara
Kebutuhan vital rakyat, semacam kesehatan, seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Negara berkewajiban menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas secara gratis hingga setiap individu rakyat mampu mengaksesnya dengan mudah.
Konsep BPJS merupakan asuransi sosial (social insurance) yang didanai melalui kontribusi peserta—selain subsidi Pemerintah—berdasarkan prinsip-prinsip asuransi. Ia bukan jaminan negara atas kebutuhan dasar rakyatnya yang murni didanai oleh APBN. Peserta/rakyat melindungi diri mereka dari berbagai risiko seperti cacat, sakit, kematian dan pensiun dengan membayar premi secara reguler kepada badan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Mengapa dikatakan seperti mekanisme asuransi? karena, jika peserta JKN tidak membayar iuran (premi) secara tepat waktu, ada beberapa konsekuensi yang bisa dihadapi, yaitu: pertama, adanya denda bagi Peserta yang terlambat membayar iuran. Kedua, Pemutusan Layanan Jika iuran tidak dibayar dalam jangka waktu tertentu, hak peserta untuk mendapatkan layanan kesehatan bisa dihentikan sementara. Hal ini seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan di mana mengatur mengenai penyelenggaraan jaminan kesehatan, termasuk kewajiban peserta untuk membayar iuran dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Sistem jaminan sosial ini, baik dalam bentuk ketenagakerjaan, kesehatan maupun yang lain, sebenarnya lahir dari sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak mempunyai peran dan tanggungjawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara. Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain. Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka.
Dalam ajaran Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim terdapat hadits dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).
Jaminan Kesehatan Dalam Islam
Dalam islam, kesehatan telah disandingkan dengan keimanan,sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat ” (HR Hakim). Dalam hadist lain Rasulullah juga bersabda yang artinya, “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR Muslim). Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik, Muslim maupun non-Muslim. Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warganya. Rasulullah bersabda, “Imam yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.”( HR al – Bukhari )
Pelayanan kesehatan tidak boleh dipandang sebagai jasa yang mewajibkan kompensasi. Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan negara atas kesehatan tidak boleh dirupakan melalui mekanisme asuransi. Tak boleh rakyat diperlakukan layaknya nasabah perusahaan asuransi, seperti yang dilakukan Pemerintah melalui BPJS. Kesehatan sebagai Hak Dasar. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan gratis dan berkualitas tinggi untuk semua warga negara, tanpa memandang status sosial atau ekonomi.
Layanan kesehatan masyarakat adalah layanan yang sifatnya darurat. Keberadaannya mendesak untuk disediakan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara harus menanggung keseluruhan biaya kesehatan masyarakat. Negara bisa mengambil pos-pos penerimaan negara dari milkiyah al-ummah seperti harta penerimaan negara dari tambang, minyak dan gas, pendapatan hasil hutan, yang jumlahnya melimpah.
Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan Masa Khilafah
Mengingat pentingnya layanan kesehatan maka negara harus mengupayakan dan menjamin ketersediaannya. Maka dalam Islam urusan kesehatan berada di bawah Departemen Jihaz al Idary (Mashalih ad-Daulah). Departemen ini mendapat pemasukan dari Baitul Mal; khususnya pos fai, kharaj, dan al-milkiyah amm[1]. Jika ada anggaran di pos perbendaharaan negara maka negara segera membelanjakannya. Jika anggaran di perbendaharaan negara kosong, negara harus mencari solusi alternatif baik berupa pinjaman maupun menetapkan dharibah (pajak khusus) yang dibebankan hanya kepada warga negara yang kaya.
Negara mengalokasikan dana sangat besar untuk pembiayaan rumah sakit. Sebagai gambaran, RS Al-Muqtadir menerima uang sebesar 200 dinar sebulan. RS Al-Arghun, yang merupakan rujukan penyakit jiwa, seluruh kebutuhannya ditanggung oleh negara; termasuk biaya obat-obatan, instrumen, dan penelitian. Rumah sakit juga mendapat dana kesehatan dari donasi masyarakat. Pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sebuah sistem pengumpulan donasi yang dikelola oleh pemerintah dan terkenal dengan sebutan Al-Waqf. Setiap orang dapat menyumbang sebagian harta yang dimilikinya untuk membantu pembangunan dan pemeliharaan rumah sakit melalui Al-Waqf Khida’ al-Maridh (waqaf mengubah persepsi pasien). Kaum bangsawan dan para pejabat menjadi penyumbang dana yang sangat besar. RS Al-Manshuri Al-Kabir mampu menutup pengeluarannya selama setahun hanya dari waqaf satu orang. Wazir Ali bin Isa Al Jarrah pendapatannya 700.000 dinar per bulan. Dari jumlah sebesar itu, beliau menginfakkan 680.000 dinar untuk kemaslahatan umat. Jaminan Kesehatan dalam khilafah dioenugi dalam erbagai aspek diantarnya:
Program Kesehatan Masyarakat. Kekhilafahan memiliki kebijakan kesehatan masyarakat yang progresif, termasuk dalam bidang sanitasi, pencegahan penyakit, dan perawatan bagi Masyarakat untuk mencegah penyebaran penyakit.
Pendidikan Kedokteran dan Pengobatan. Kekhalifahan juga mendirikan banyak sekolah kedokteran yang terintegrasi dengan perpustakaan untuk riset ilmiah. Pada era ini, banyak ilmuwan Muslim seperti Al-Razi (Rhazes) dan Ibn Sina (Avicenna) menulis buku-buku kedokteran yang menjadi rujukan di dunia barat, termasuk “Al-Qanun fi al-Tibb” (The Canon of Medicine)
Ada dua jenis rumah sakit dalam pelayanan kesehatan, yaitu permanen dan nomaden (berpindah-pindah). Rumah sakit permanen dibangun di tengah kota. Selain rumah sakit permanen, kota-kota besar juga memiliki pusat pertolongan pertama dan perawatan akut. Ini biasanya terletak di tempat-tempat umum yang sibuk seperti masjid-masjid besar. Maqrizi menggambarkan satu di Kairo:Ibnu Tulun, ketika membangun masjidnya yang terkenal di dunia di Mesir, di salah satu ujungnya ada tempat wudhu dan apotik juga sebagai tambahan. Apotik ini dilengkapi dengan obat-obatan dan petugas terlatih. Setiap Jumat dulu ada dokter yang bertugas sehingga dia segera menangani jika ada pasien yang membutuhkan perawatan.
Demikianlah, dalam Islam nyawa manusia amat berharga. Kesehatan bukanlah komoditas yang bisa diperjual-belikan, karena kesehatan adalah tanggung jawab negara. Daulah Islam bukan sekedar regulator tapi bertanggung jawab langsung untuk memenuhi hak dasar kesehatan, pendidikan dan keamanan Kesehatan bagian dari amal jariyah. Negara bersama para pejabat, kaum bangsawan, bahkan rakyat jelata bahu membahu menyediakan dana demi terwujudnya kesehatan untuk semua.
Wallahualam.