Oleh:
Nur Ilahiyah
(Guru dan Aktivis Dakwah)
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Taman Husada Bontang tetap memberikan pelayanan kepada pasien meski banyak yang memiliki tunggakan pembayaran BPJS. Namun, hal ini menimbulkan masalah pada operasional rumah sakit. Direktur RSUD Bontang, Suhardi, mengatakan bahwa meskipun banyak pasien BPJS menunggak, pihaknya tetap berkomitmen untuk melayani masyarakat. Namun, situasi ini menjadi beban tersendiri bagi rumah sakit karena biaya pelayanan terus berjalan.
Menurut Suhardi, hingga kini belum ada solusi yang pasti terkait masalah tunggakan ini. Pihaknya telah berupaya mencari dana tambahan dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menutupi kebutuhan operasional, seperti biaya transportasi bagi pekerja rumah sakit.Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi B DPRD Bontang, Winardi, menyarankan agar pasien BPJS mandiri yang menunggak mengubah status mereka menjadi peserta BPJS yang ditanggung oleh pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa tunggakan sebelumnya tetap harus dilunasi, meskipun dengan cara dicicil. (kitamudamedia.com, 24/10/2024)
Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih menjadi PR besar yang harus pemerintah benahi. Sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak bagi seluruh masyarakat. Di mana menurut Kementerian Kesehatan, terdapat sejumlah masalah-masalah utama terkait pelayanan kesehatan yang kurang optimal.
BPJS merupakan program yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tepatnya 1 Januari 2014, terwujud transformasi dari PT Askes menjadi BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dan semua penduduk Indonesia berkewajiban menjadi anggota JKN-KIS BPJS Kesehatan. Inilah yang menjadi skema Jaminan Kesehatan Indonesia hingga sekarang.
Kisruh BPJS Kesehatan tentu tidak bisa dipisahkan dari paradigma negara dalam menyelenggarakan urusan masyarakat dan negara. Kebutuhan vital rakyat, semacam kesehatan, seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Negara berkewajiban menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas secara gratis hingga setiap individu rakyat mampu mengaksesnya dengan mudah.
Konsep BPJS merupakan asuransi sosial (social insurance) yang didanai melalui kontribusi peserta—selain subsidi Pemerintah—berdasarkan prinsip-prinsip asuransi. Ia bukan jaminan negara atas kebutuhan dasar rakyatnya yang murni didanai oleh APBN. Peserta/rakyat melindungi diri mereka dari berbagai risiko seperti cacat, sakit, kematian dan pensiun dengan membayar premi secara reguler kepada badan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Sistem jaminan sosial ini, sejatinya lahir akibat kegagalan negara-negara kapitalis dalam menciptakan kesejahteraan untuk rakyatnya. Oleh karena itu, solusi yang ditempuh adalah rakyat harus ikut berkontribusi untuk membiayai jaminan sosial yang akan mereka dapatkan.
Sistem jaminan sosial ini, baik dalam bentuk ketenagakerjaan, kesehatan maupun yang lain, sebenarnya lahir dari sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak mempunyai peran dan tanggungjawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara.
Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain. Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka. Nah, di sinilah akar masalahnya. Padahal, dalam Islam, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain adalah kewajiban negara, bukan rakyat.
Dalam ajaran Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim terdapat hadits dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207)
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/143)
Dalam islam, kesehatan telah disandingkan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat ” (HR Hakim). Dalam hadist lain Rasulullah juga bersabda yang artinya, “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR Muslim)
Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik, Muslim maupun non-Muslim. Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warganya. Rasulullah bersabda, “Imam yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.”(HR al – Bukhari)
Pelayanan kesehatan tidak boleh dipandang sebagai jasa yang mewajibkan kompensasi. Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat ditanggung sepenuhnya oleh negara. Negara tidak boleh memberikan layanan kesehatan dengan membebankan pembiayaannya kepada masyarakat, baik dengan sistem asuransi atau pengenaan pajak.
Layanan kesehatan masyarakat adalah layanan yang sifatnya darurat. Keberadaannya mendesak untuk disediakan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara harus menanggung keseluruhan biaya kesehatan masyarakat. Negara bisa mengambil pos-pos penerimaan negara dari milkiyah al-ummah seperti harta penerimaan negara dari tambang, minyak dan gas, pendapatan hasil hutan, yang jumlahnya melimpah.
Mengingat pentingnya layanan kesehatan maka negara harus mengupayakan dan menjamin ketersediaannya. Maka dalam Islam urusan kesehatan berada di bawah Departemen Jihaz al Idary (Mashalih ad-Daulah). Departemen ini mendapat pemasukan dari Baitul Mal; khususnya pos fai, kharaj, dan al-milkiyah amm. Jika ada anggaran di pos perbendaharaan negara maka negara segera membelanjakannya. Jika anggaran di perbendaharaan negara kosong, negara harus mencari solusi alternatif baik berupa pinjaman maupun menetapkan dharibah (pajak khusus) yang dibebankan hanya kepada warga negara yang kaya.
Negara mengalokasikan dana sangat besar untuk pembiayaan rumah sakit. Sebagai gambaran, RS Al-Muqtadir menerima uang sebesar 200 dinar sebulan. RS Al-Arghun, yang merupakan rujukan penyakit jiwa, seluruh kebutuhannya ditanggung oleh negara; termasuk biaya obat-obatan, instrumen, dan penelitian. Rumah sakit juga mendapat dana kesehatan dari donasi masyarakat.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sebuah sistem pengumpulan donasi yang dikelola oleh pemerintah dan terkenal dengan sebutan Al-Waqf. Setiap orang dapat menyumbang sebagian harta yang dimilikinya untuk membantu pembangunan dan pemeliharaan rumah sakit melalui Al-Waqf Khida’ al-Maridh (waqaf mengubah persepsi pasien). Kaum bangsawan dan para pejabat menjadi penyumbang dana yang sangat besar. RS Al-Manshuri Al-Kabir mampu menutup pengeluarannya selama setahun hanya dari waqaf satu orang. Wazir Ali bin Isa Al Jarrah pendapatannya 700.000 dinar per bulan. Dari jumlah sebesar itu, beliau menginfakkan 680.000 dinar untuk kemaslahatan umat.
Demikianlah mekanisme jaminan kesehatan masyarakat dalam Islam. Tentunya hanya dengan sistem ini, masyarakat bisa menikmati layanan secara maksimal tanpa beban. Demikian juga rumah sakit juga bisa memberikan pelayanan optimal.
Wallahu a’lam