spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Akankah Mediasi Nelayan VS Perusahaan Dapat Menyelamatkan Lingkungan?

Oleh:
Emirza Erbayanthi, M.Pd
Pemerhati Sosial

Polres Bontang melakukan mediasi permasalahan dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT Energi Unggul Persada (EUP) di wilayah pesisir laut Bontang Lestari dan Santan Ilir, Marangkayu. Perwakilan aliansi nelayan Muara Badak, Nina menyebutkan pencemaran sebenarnya sudah terjadi selama satu tahun belakangan, hanya saja baru kali ini ikan yang mati sangatlah banyak. (https://radarbontang.com/dugaan-pencemaran-lingkungan-polres-bontang-mediasi-nelayan-bonles-dan-santan-ilir-dengan-pt-eup/)

Humas PT. EUP sebelumnya telah membantah tuduhan pencemaran limbah yang di mana pihaknya beranggapan bahwa ikan-ikan tersebut mati karena adanya faktor lain, seperti halnya terbawa arus, oksigen, bahkan sabotase. (https://radarbontang.com/pt-eup-bantah-cemari-perairan-sahib-tegaskan-jangan-saling-menutupi/)

Pertanyaannya, apakah lingkungan dapat terselamatkan dengan adanya mediasi antara nelayan dengan perusahaan? Ataukah ada solusi lain yang mampu menyelamatkan lingkungan secara menyeluruh?

Akar Penyebab Kerusakan Lingkungan

Pencemaran lingkungan khususnya perairan tentu merugikan nelayan, tidak cukup mediasi dan ganti rugi. Perlu tindak tegas keadilan hukum, namun saat ini sering kali warga kalah dengan perusahaan. Negara pun condong melindungi.

Pencemaran sudah berlangsung lama, kasusnya hangat ketika sudah sangat berdampak yakni kematian ikan yang banyak. Bukankah ini menggambarkan adanya pembiaran? Ke mana nelayan mendapatkan keadilan jika suaranya tak segera ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

Permasalahan lingkungan saat ini tidak dapat terlepas dari sistem yang sedang diterapkan, yaitu kapitalisme. Fokus utama sistem kapitalisme menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Ini menjadikan negara-negara kapitalis menggenjot produksi meski memberikan tekanan kepada lingkungan.

Baca Juga:  Pergaulan Bebas Marak, Nikah Dini Kian Merebak

Spirit kapitalisme yang mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya atau modal sekecil-kecilnya, mendorong industri untuk mengurangi biaya dan menekan perusahaan untuk memilih proses yang lebih murah.

Akibatnya, perusahaan terdorong untuk membuat keputusan jangka pendek berdasarkan pada apa yang membantu industri mereka untuk bisa bertahan, meskipun efeknya membahayakan masyarakat dan lingkungan.

Tidak heran jika terdapat banyak industri yang kemudian mengeksploitasi alam dengan ekstraksi yang tidak berkelanjutan ataupun penanganan limbah yang tidak bertanggung jawab.

Undang-undang yang lahir dari kebijakan yang dukungannya dari para pengusaha menjadikan aturan yang lahir rawan dengan pesanan dari para pemilik modal. Apalagi ketika penguasanya juga pengusaha.

Maka, munculah aturan yang pro kapitalis yang mengesampingkan lingkungan dengan alasan pencapaian kapital. Tentu hal ini tidak mengherankan dan sulit lepas dari tujuan pencapaian kapital setinggi-tingginya.

Islam Memperhatikan Aspek Lingkungan

Sistem Islam dibangun atas paradigma yang berbeda dengan sistem kapitalisme. Pencemaran lingkungan tidak akan terjadi karena tata kelola benar sesuai syariat. Penguasa akan melindungi warganya sehingga dampak lingkungan terhindar. Andai terjadi maka negara akan segera tegas menindak.

Baca Juga:  Pengangguran Tinggi di Negeri Kaya Energi

Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan ia bertanggung jawab pada rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari).

Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Kekhalifahan Utsmani, sebagai contoh, Alan Mikhail dalam bukunya, Nature and Empire in Ottoman Egypt, menjelaskan pada masa itu kanal-kanal di Mesir dikelola negara untuk memberikan kemaslahatan masyarakat (al-maslaha al ‘amma).

Dalam mekanisme pengontrolan, kanal dikelompokkan menjadi dua. Kanal yang dipergunakan untuk masyarakat dan kemaslahatan publik tanggung jawab pemerintah pusat. Kanal yang melayani kebutuhan irigasi komunitas tertentu (skala kecil) termasuk dalam kategori kanal baladi yang dikelola pemerintah lokal.

Pegawai negara secara rutin melakukan inspeksi, baik di kanal sultani maupun baladi, untuk mengetahui mana kanal yang telantar, kering, dan bermasalah. Kemudian meneliti sebab dan berapa lama ditelantarkan.

Seperti memeriksa apakah ketika diperbaiki, fungsi kanal tersebut kembali seperti awal. Juga akan melihat adakah permasalahan ekologi terkait geografi dan topografi pada daerah kanal. Juga terkait permasalahan terkait aliran air di kanal tersebut.

Survei ini merupakan bentuk kemajuan peradaban Islam pada abad itu, meski teknologi belum sepesat sekarang. Hasil survei itu terekam dalam catatan Al-Jusur al-Sultaniyya. Hal ini menunjukkan perhatian Islam kala itu dalam menangani masalah lingkungan.

Baca Juga:  Desa Wisata Maju Terdepan, Pendidikan Jangan Terabaikan!

Keselamatan lingkungan akan menjadi perhatian karena merupakan bagian dari upaya manusia untuk memakmurkan bumi. Pelaksanaan pembangunan pabrik akan melibatkan para tenaga ahli. Perencanaan dibangun mengikuti tata ruang kota yang sudah direncanakan dengan matang.

Aspek keberlanjutan menjadi perhatian, seperti misalnya penerapan prinsip sirkular ekonomi untuk keberlanjutan lingkungan melalui 9 R (refuse, rethink, reduce, reuse, repair, refurbish, remanufacture, repurpose, and recycle). Semua ini dijalankan dengan paradigma utama adalah demi terealisasinya keberlanjutan dan kemaslahatan umum, bukan untuk pencapaian profit kapital.

Berbagai riset untuk pengembangan materiel ramah lingkungan dan berbagai inovasi di bidang teknologi infrastruktur didukung negara tanpa menyulitkan peneliti terkait pelaporan administrasi. Hasil riset-riset ini terintegrasi dengan rencana pengembangan tata kota dan pembangunan pabrik ramah lingkungan.

Sistem Islam menjadikan masyarakat bertindak sebagai pengontrol yang melakukan muhasabah (introspeksi) kepada penguasa. Masyarakat juga akan menjadi pihak yang melakukan kontrol dan penjagaan terhadap pabrik yang telah terbangun.

Penyelamatan dan penjagaan lingkungan ini tidak dapat dilakukan secara parsial. Perlu penyelesaian yang integratif berbasis atas ketakwaan untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan. Maka, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dirasakan secara menyeluruh.

Wallahualam bissawab.

Most Popular