Oleh: Hafsah (Pemerhati Masalah Umat)
Pernikahan adalah dambaan bagi setiap insan. Membangun mahligai rumah tangga tentu butuh persiapan mental untuk mengarungi bahtera. Namun, apa jadinya jika niat tersebut mendadak dijalani tanpa persiapan karena kebobolan atau hamil sebelum terjadi pernikahan?
Pengadilan Agama (PA) Bontang mencatat sebanyak 31 pengajuan dispensasi nikah selama tahun 2022 ini.
Humas PA Bontang, Ahmad Farih Shofi Muhtar menyampaikan, pengajuan dispensasi nikah tersebut diajukan oleh calon pasangan suami istri (pasutri) yang berstatus di bawah umur. Latar belakang pengajuan dispensasi nikah terbanyak karena hamil di luar nikah.
Selebihnya karena putus sekolah dan alasan lainnya.
Dispensasi nikah umumnya diberikan karena pertimbangan kondisi darurat. Pertimbangan melindungi anak yang ada di dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan yang sah. Hal itu diberikan sebagai upaya perlindungan perempuan dan anak secara perdata. (Radarbontang.com, 31/12/2022)
Pernikahan dini akibat hamil di luar nikah sudah menjadi berita biasa di tengah masyarakat. Walau dianggap aib, namun jika terjadi, pernikahan menjadi jalan terbaik. Setuju atau tidak, tak perlu negosiasi atau sekadar mencari pertimbangan.
Menikah seolah menjadi jalan keluar, padahal dampak dari permasalahan tersebut lebih berbahaya, misal perceraian karena ketidaksiapan dalam mengarungi mahligai rumah tangga. Dan yang lebih penting adalah nasab ayah biologis tidak bisa disematkan kepada anak. Buntut selanjutnya adalah soal warisan dan perwalian yang tidak didapatkan sang anak.
Kasus-kasus terkait masalah pernikahan seperti kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, perceraian dan pernikahan dini menjadi bukti adanya kesalahan dalam pola hidup masyarakat. Sejauh ini, langkah penyelesaian yang dilakukan masih parsial, bukan pada akar masalah.
Bertambahnya kasus hamil di luar nikah, harusnya membuka mata masyarakat, bahwa pergeseran nilai dan norma kian memudar seiring berkembangnya zaman.
Perputaran waktu tidak lantas menjadi pembiaran. Arus liberalisasi dalam pergaulan tak terbendung mengikuti perkembangan zaman. Maka tidak tepat jika menyalahkan waktu atau keadaan.
Pengaruh liberalisasi yang dibawa oleh ideologi kapitalis tentu patut dikaji ulang. Kebebasan bertingkah laku yang diusung membuat masyarakat justru tidak terarah dan kebablasan.
Apalagi ide liberalisasi ini berlindung dibalik HAM, sehingga masyarakat justru mendapat pengakuan dan pembenaran atas sikapnya.
Kebebasan berpendapat, berfikir, dan bertingkah laku membuat masyarakat hilang kendali. Naluri eksistensi dan naluri berkasih sayang yang ada pada diri manusia, bukan untuk dibiarkan berkembang mengikuti nafsu, namun harus dikendalikan dan dituntun oleh wahyu.
Paham liberalisme akan tetap bercokol di negeri ini selagi pengemban ideologinya tetap dipertahankan. Tanpa kita sadari, dampak buruk penerapan sistem ini lambat laun menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Pengaruh pemisahan urusan agama (sekularisme) mengikis aqidah dan keimanan bagi penganut agama manapun.
Masihkah kita akan mempertahankannya sementara ada aturan hidup yang luar biasa sempurna yang ditawarkan?
Hukum Perbuatan Manusia Terikat dengan Hukum Syara. Islam dengan pedoman Al Qur’an dan Hadits membawa seperangkat aturan yang komplit.
Menghukumi perbuatan tidak boleh mengandalkan hawa nafsu dan akal manusia yang sifatnya lemah, sehingga perbuatan harus tunduk pada aturan syara.
Dalam Islam ada kaidah syara, yakni ahkamul khomsa yang memetakan status hukum dalam perbuatan yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Adapun kategori berzina adalah hukumnya haram sesuai dengan Firman Allah Swt yang artinya: “Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan buruk” (TQS Al Isra [17] ayat 32)
Larangan dalam ayat tersebut adalah perintah agar ditinggalkan, sehingga hukumnya haram ketika dilakukan. Bahkan bahasanya bukan lagi “berzina” tapi jangan “mendekati” atau berpacaran, sehingga pintu-pintu perzinahan akan ditutup agar manusia tidak memasukinya.
Dalam kitab nizom ijtima’i, hukum interaksi dengan lawan jenis diatur agar tidak terjadi ikhtilat dan bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, termasuk pada keluarga yang tidak termasuk mahrom sesuai dengan surah (Annur [24] ayat 31).
Dalam wilayah umum, jika perempuan keluar rumah disyariatkan untuk berpakaian tertutup dan sempurna seperti termaktub dalam QS Al Ahzab ayat 59 tentang pakaian (jalabab /gamis) dan QS Annur ayat 31 tentang penutup kepala (khimar/kerudung).
Bukan hanya perempuan saja yang membuat benteng dengan pakaian syar’i, laki-laki juga diwajibkan menjaga pandangan (ghadul bashor), sehingga kecil kemungkinan terjadi interaksi yang mendekati zina. Karena zina bukan masalah bersetubuh saja, tapi memandang, bersentuhan, mendengar, sampai membawa dalam khayalan sudah termasuk kategori zina.
Setelah penjagaan individu dan masyarakat tercapai, maka negara wajib memberi perlindungan keamanan dan perangkat hukum jika terjadi pelanggaran.
Hukum bagi pelaku zina menurut Islam terbagi 2, yaitu muhson (sudah menikah) akan dihukum rajam sampai mati.
Sedangkan ghoiru muhson (belum menikah) akan dicambuk 100 kali dan diasingkan.
Tujuan dari hukuman tersebut untuk mencegah atau membuat jera (zawajir) bagi pelaku dan masyarakat. Dan sebagai penebus dosa di akhirat nanti (jawabir).
Dengan terpenuhinya perangkat aturan tersebut, pelaku perzinahan tidak akan terjadi karena dukungan sistem. Idealnya, sebuah perintah dan larangan harus diberi payung hukum oleh pemerintah, tentu saja hanya ada dalam sistem Islam. (*)
Wallahu a’lam bisshowab