Oleh:
Rahmi Surainah, M.Pd
Alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin
Meningkatnya prevalensi stunting di Bontang menjadi atensi tersendiri bagi pemerintah daerah. Sejumlah upaya pun bakal dilakukan. Asisten 1 Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkot Bontang Dasuki mengatakan, penanganan stunting bakal dilakukan by data. Selanjutnya, pihaknya turut menggagas pemberian makanan tambahan (PMT) yang dilakukan oleh seluruh aparatur sipil negara (ASN). (Bontangpost.id)
PMT oleh ASN tersebut masih berupa gagasan. Evaluasi dilakukan pada tiga bulan pertama, guna mengetahui pengaruh pemberian makanan tambahan tersebut. Jika ada perubahan, maka program serupa akan diterapkan di wilayah kelurahan lain di Bontang.
Dengan melibatkan ASN, yakni penurunan stunting lintas sektor oleh pemerintah daerah menunjukkan upaya penurunan stunting di Bontang tidak kendur. Namun masalahnya bagaimana dengan ASN sendiri apakah mereka mau dan sudah berkecukupan? Solutifkah melibatkan ASN?
Stunting di Bontang Genting
Tingkat stunting semakin tinggi dan pencarian solusi pemerintah pun tidak kendur dan lintas sektor. Dikabarkan prevalensi stunting pada 2023 mencapai 27,4%. Hal itu berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia. Padahal 2022 lalu, angka stunting di Bontang sekitar 21%.
PMT yang dilakukan ASN sebenarnya bukan solusi tepat, meski terlihat sebegitu gentingnya stunting. Banyak faktor penyebab stunting, faktor utama kemiskinan yang tersistem lahir dari ekonomi kapitalisme sekuler. Sebagaimana diketahui Bontang daerah yang kaya. Dikenal sebagai kota industri. Di kota Bontang terdapat sejumlah perusahaan besar di antaranya Badak NGL, Pupuk Kaltim, dan Indominco Mandiri. Di kota ini juga, terdapat salah satu kilang gas alam berbentuk Liquified Natural Gas (LNG) terbesar di dunia.
Tentu ironis bukan angka stunting genting alias naik, padahal kota tersebut kaya. Artinya kekayaan di sana tidak berkorelasi dengan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat khususnya bagi anak-anak yang terkena stunting. ASN yang dilibatkan PMT tentu pendapatan mereka kalah saing dengan pekerja perusahaan tambang. Bisa jadi mereka pun pas-pasan bertahan dalam kehidupan.
Demikianlah konsekuensi yang diterima oleh masyarakat akibat dari tata kelola SDAE yang diserahkan kepada swasta atau asing. Kasus stunting terus naik. Alih-alih menangani akar masalah penyebabnya, pemerintah hanya fokus kepada solusi yang sampai sekarang tidak membuat kasus stunting berhenti.
Selama ini, pemerintah abai akan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan bagi rakyat. Jangankan gizi, air bersih dan kebutuhan pangan saja masyarakat susah. Akibatnya, banyak rakyat yang kekurangan gizi, termasuk ibu hamil, bayi, dan balita.
Stunting Persoalan Sistem
Stunting memang mendapat perhatian serius dari pemerintah baik daerah maupun nasional termasuk global. Padahal kalau ditelusuri persoalan stunting merupakan persoalan cabang dari akar kemiskinan, termasuk pola asuh karena pendidikan tidak terjangkau.
Memang pola asuh dan pemenuhan gizi pada anak yang didukung oleh tingkat ekonomi keluarga dan pemahaman pengasuhan terhadap anak tidak semua rumah bisa memenuhinya. Tingkat ekonomi dan pola pengasuhan ini merupakan bagian dari sistem. Sedangkan sistem saat ini membuat orang tua yakni ayah sebagai kepala keluarga pencari nafkah susah dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Ibu pun terpaksa ikut keluar rumah, tidak sedikit melalaikan perannya sebagai isteri dan ibu. Akhirnya, pola asuh anak terbengkalai. Ini baru salah satu dari sistem ekonomi. Belum lagi sistem pendidikan yang tidak memberikan bekal keilmuan sebagai ibu dan ayah dalam mengasuh anak.
Dua sistem di atas merupakan cabang dari sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat. Kapitalis membuat negeri kaya SDAE namun kemiskinan di mana-mana. SDAE dikeruk untuk asing dan swasta, namun rakyat justru bergelut dengan kemiskinan.
Kemiskinan akan menjadi faktor susahnya keluarga memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk akan gizi. Oleh karena itu, penyebab masih tingginya angka stunting sangat kompleks. Paradoks memang Indonesia khususnya Kaltim dan Bontang dengan berlimpah kekayaan SDAE justru anak-anaknya mengalami stunting. Padahal, pemenuhan kebutuhan pokok yang murah dan tersedia serta berkualitas adalah tanggung jawab negara.
Negara harus menyelesaikan persoalan mendasar agar tidak terjebak pada persoalan teknis dan cabang. Tidak cukup dengan melibatkan lintas sektor cakupan ASN tanpa support sistem negara. Individu, keluarga masyarakat dan negara harus berperan, sistem kehidupan lain pun harus mendukung agar kebutuhan pokok terpenuhi, gizi pun tercukupi.
Islam Solusi Atasi Stunting
Dalam Islam, anak-anak tidak hanya diperhatikan dalam hal kesehatan tetapi juga jiwa atau kepribadian yang tangguh. Jika fisik saja lemah bagaimana keadaan mental dan jiwa bisa menjalankan ibadah dan amanah kehidupan?
Oleh karena itu, orang-orang yang takut kepada Allah (khususnya orang tua) pasti menyiapkan anak-anak yang kuat, baik sehat fisik maupun mentalnya. Orang tua khususnya ibu akan berusaha mempersembahkan pemenuhan gizi terbaik terhadap anaknya agar terhindar dari stunting.
Stunting merupakan tanggung jawab semua, baik individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Jika individu terbatas dalam lingkungan keluarga misalnya keterbatasan ekonomi maka negara harus mengatasinya yakni dengan menyejahterakan keluarga. Pencegahan dan penyelesaian stunting perlu andil negara. Negara harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk rakyat sehingga stunting bisa dicegah.
Ketentuan Islam mengharuskan pemimpin menjadikan rakyat sebagai tuan yang harus dipenuhi kebutuhannya. Sumber daya alam dan energi harus dikelola oleh negara dan diperuntukkan bagi seluruh rakyatnya. Ketika seluruh rakyat sudah terjamin kebutuhan pokoknya, akses pangan bergizi menjadi hal yang mudah dipenuhi. Maka tidak akan ada lagi ditemui kasus stunting yang diakibatkan oleh kemiskinan yang tersistem.
Negara tidak akan tersibukkan dengan perkara teknis dan cabang, karena persoalan akar stunting sudah diselesaikan. Dengan Islam persoalan genting stunting akan berakhir, generasi pun tumbuh sehat lahir dan batinnya.
Wallahu’alam…