spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
No menu items!
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
No menu items!
More

    Harga Beras Merangkak Naik Jelang Ramadan, Butuh Solusi Tuntas

    Oleh:

    Emirza Erbayanthi, M.Pd

    Menjelang Bulan Suci Ramadan, harga beras di Kota Bontang terus melonjak naik. Kenaikan tersebut mulai awal Januari 2024 dan terus naik. Untuk harga beras karungan 25 kilo kualitas standar Rp. 385 ribu, kualitas medium Rp. 395 ribu, kemudian beras premium mencapai Rp. 420 ribu.

    Diungkapkan Delima, salah satu supplier beras di Pasar Tradisional Rawa Indah. “Beras 5 kilo aja ini kemarin masih Rp 68 ribu sekarang sudah Rp 80 ribu,” jelasnya.

    Imbas kenaikan beras penjualan juga menurun, bahkan Delima mengatakan stok miliknya belum sempat ia tambah lagi, ia masih menyuplai beras-beras dengan kualitas standar dulu. (radarbontang.com, 4/3/2024)

    Naiknya Harga Pangan Saat Ramadan

    Ramadan bulan mulia, bulan ibadah, inginnya fokus dan tenang untuk ibadah. Namun sayang jelang Ramadan justru dihadapkan dengan beban-beban hidup yang seharusnya sudah diantisipasi sebelum ada lonjakan kenaikan harga.

    Kenaikan harga pangan jelang ramadan bukanlah pertama. Di setiap tahunnya selalu terjadi kenaikan harga kebutuhan pangan, dan membuat kecewa masyarakat karena harus mengeluarkan biaya lebih untuk mencukupi kebutuhan dapur jelang ramadan. Harga beras merangkak naik bukti penguasa gagal mengurus rakyatnya dengan baik.

    Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya. Asas ekonomi kapitalisme yang menjadikan pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator.

    Pemerintah memberikan kebebasan pada pemilik modal untuk mengelola bahan yang ada di pasar, dan pemerintah akan mendapat pajak dari apa yang telah diolah oleh pemilik modal.

    Sistem kapitalis abai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tidak menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah, serta tidak adanya pengawasan terhadap pedagang nakal yang melakukan penimbunan oleh mafia beras.

    Baca Juga:   Waspadai Perdagangan Orang ke Timur Tengah

    Sedang fokus sistem ekonomi kapitalis ini adalah pada besarnya manfaat atau keuntungan. Maka para pemilik modal akan berupaya mendapatkan keuntungan yang besar. Dikarenakan gaya hidup masyarakat yang konsumtif bulan ramadan dan idul fitri, maka dampaknya pada naiknya harga.

    Menurut Adam Smith, ketika permintaan barang di pasar lebih tinggi dari pasokannya, tidak semua permintaan itu dengan harga alamiahnya dapat terpenuhi. Akibatnya, sebagian mereka berupaya mendapatkan barang dengan menawarkan harga yang lebih tinggi. Secara otomatis, harga pasar barang itu jadi naik melebihi harga alamiahnya.

    Maka, ketika terjadi peningkatan permintaan di atas jumlah barang yang beredar di pasar, harga barang akan naik, begitu juga faktor-faktor produksinya. Kenaikan permintaan itu mendorong produsen untuk meningkatkan jumlah pasokan barang hingga harga-harga kembali normal. Demikianlah siklus yang terjadi secara berulang.

    Maka, pemerintah harusnya bergerak dengan melakukan stabilisasi harga bahan pokok, untuk mengantisipasi kenaikan menjelang ramadhan. Sehingga untuk menekan laju kenaikan harga, pemerintah harusnya melakukan sidak sebagai langkah antisipasi dan memastikan ketersediaan stok bahan pokok kebutuhan masyarakat.

    Tetapi, antisipasi tersebut tidak bisa menghalangi kenaikan harga. Intervensi ini berdampak pada penimbunan, monopoli harga, hingga praktik pasar gelap di masyarakat.

    Pemerintah pun telah memastikan ketersediaan bahan pokok. Tetapi, aspek distribusi stok bahan pokok tersebut kembali pada daya beli masyarakat. Di sinilah ‘hukum rimba’ ala ekonomi kapitalisme bekerja.

    Jadi, bagaimana agar harga tetap stabil? Inilah yang membutuhkan pembahasan dengan solusi tuntas mengatasinya.

    Solusi Tuntas

    Islam menjamin ketersediaan dan kebutuhan umat. Dikarenakan mendistribusikan bahan makanan secara merata, sehingga tidak terjadi kenaikan harga yang menyusahkan masyarakat yaitu dengan sistem ekonomi Islam.

    Baca Juga:   Jalan Menuju Bontang Lestari, Kini Tak Secantik Namanya

    Dalam sistem Islam, pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat adalah tanggung jawab negara. Kebutuhan dasar masyarakat adalah hal fitrah yang menuntut adanya pemenuhan. Maka, negara menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari pelayanannya terhadap rakyat.

    Negara juga berkewajiban menjaga transaksi ekonomi rakyat agar jauh dari hal yang melanggar syariat. Maka dalam memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan saat kondisi permintaan sedang tinggi harus sesuai dengan hukum syara.

    Pertama, pemenuhan kebutuhan secara fitrah.

    Sistem ekonomi kapitalisme hari ini adalah fakta minimnya peran negara dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara mencukupkan diri sebagai fasilitator kebijakan, tetapi luput dalam memastikan tercukupinya kebutuhan rakyat, individu per individu. Sehingga, rakyat sendirilah yang berjuang untuk memenuhi kebutuhannya.

    Sementara itu, sistem Islam yang menjalankan politik ekonomi Islam akan memosisikan negara sebagai pengurus (raa’in) rakyatnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan primer rakyat (sandang, pangan, dan papan) individu per individu.

    Politik ekonomi Islam diterapkan oleh negara melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia. Pendanaannya bersumber dari baitulmal. Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini bersifat harian dan tidak hanya untuk kaum muslim, melainkan juga nonmuslim yang menjadi warga negara. Hak keduanya tanpa perbedaan.

    Maka, pemenuhan kebutuhan ini tetap berjalan, bahkan pada saat rakyat menyambut bulan ramadhan. Artinya, negara bertanggung jawab dalam distribusi berbagai barang kebutuhan masyarakat.

    Kedua, mengantisipasi penimbunan.

    Penimbunan hukumnya haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis. Diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Said bin Al-Musayyib dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan.”

    Al-muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga menyulitkan masyarakat untuk membelinya.

    Baca Juga:   Teknologi Wolbachia, Mampukah Atasi DBD Tanpa Resiko?

    Jika barang tersebut tidak ada, kecuali pada di penimbun, negara bertanggung jawab untuk menyediakan barang tersebut di pasar. Maka, tidak seorang pedagang bisa mengendalikan dan memonopoli harga di pasar, baik pada hari biasa maupun menjelang ramadhan.

    Maka jika terjadi kenaikan harga atau barang tidak tersedia di pasar pada masa peperangan atau krisis politik, hal itu bisa karena dua sebab, yakni adanya penimbunan ataupun kelangkaannya. Jika ketiadaannya adalah akibat penimbunan, sungguh hal itu telah Allah haramkan sehingga akan ada sanksi atasnya.

    Jika ketiadaannya adalah akibat dari kelangkaan, negara wajib menyediakan barang di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempat. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada masa paceklik ketika terjadi kelaparan di Hijaz karena kelangkaan makanan.

    Beliau mengirim surat dan mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga kebutuhan masyarakat Hijaz bisa terpenuhi. Inilah bentuk perlindungan negara dalam mencukupi kebutuhan rakyat dan melindungi ekonomi negara, serta membebaskan pasar dari monopoli segelintir orang.

    Kenaikan harga kebutuhan menjelang ramadhan adalah kejadian berulang. Antisipasi yang pemerintah jalankan pun sama dan harga di pasar tetap saja mengalami lonjakan. Ini karena akar masalahnya adalah pada sistem ekonomi yang diterapkan dan lemahnya posisi negara dalam melakukan pemenuhan kebutuhan rakyatnya.

    Masalah ini bersifat sistemis, maka butuh perubahan yang sistemis juga yang mengganti paradigma kapitalisme dalam menjalankan pelayanan terhadap rakyat. Maka, Islam solusi pengganti kapitalisme untuk menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan rakyat secara hakiki dan komprehensif.

    Wallahualam.

    Most Popular