BONTANG – Plt Diskominfo Kota Bontang Dasuki menegaskan selama ini pemerintah selalu terbuka bila dimintai keterangan. Selain itu, dikatakannya pemerintah tak pernah alergi kritik yang media massa beritakan.
“Kami tidak masalah dengan kritik. Kami juga terbuka bila media butuh data atau informasi apapun,” sebut Dasuki yang didaulat sebagai salah satu narasumber dalam diskusi gelaran Forum Jurnalis Bontang (FJB), di Kedai Kopi Titik Kumpul (TKP), Sabtu (4/6) malam. Diskusi ini merupakan rangkaian merayakan Hari Jadi ke-6 FJB dengan tajuk “Independensi Media Terhadap Pemerintah”.
Selain Dasuki yang mewakili Pemkot Bontang, narasumber lain yang dihadirkan, Wakil Ketua II DPRD Bontang, Agus Haris. Sementara anggota DPRD Bontang, Bakhtiar Wakkang didapuk sebagai pemantik diskusi. Tema ini diangkat guna merefleksi kembali, apakah media di Bontang masih mampu menjaga independensi kendati sumber utama pendapatan media masih berasal dari kerja sama dengan Pemkot dan DPRD Kota Bontang.
Lebih jauh Dasuki mengatakan, tak menjadi persoalan bila selama ini media mendapat pendapatan bersumber dari APBD. Menurutnya itu sah saja sebab publik memang perlu tahu apa yang telah dikerjakan pemerintah. Pemerintah juga mesti menyiarkan program apa saja yang telah dikerjakan. “Ini murni business to business,” sebutnya.
Namun dia mengingatkan juru warta mesti melakukan pemberitaan yang selaras dengan kode etik, dan wajib melakukan konfirmasi. “Kalau tidak ada konfirmasi, bisa saya laporkan,” tegasnya.
Sementara itu, Bakhtiar Wakkang sedikit mengulas perihal kondisi media massa di Bontang. Dimulai pada medio awal 2000-an hingga kini. Menurut pria yang juga pernah menjadi jurnalis ini, secara umum perkembangan media massa di Bontang cukup baik.
Ini tidak lepas dari perangkat hukum yang sudah disahkan pemerintah, seperti keberadaan UU Pers dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang pedoman implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Dalam diskusi diulas ini lebih jauh lagi, dan tentu terkait tema kita pada hari ini soal independensi media terhadap pemerintah,” ucapnya.
Sementara itu, Agus Haris menegaskan, bahwa sudah tidak perlu lagi dipertanyakan independensi media massa. Sebab independensi adalah jati diri media itu sendiri. Walau menjalin kerjasama pemberitaan dengan pemerintah, atau pihak lain, itu tak berarti independensi media tergadaikan. “Tidak perlu lah ditanya-tanya independensi media. Media yah harus independen. Kalau tidak independen berarti bukan media,” tegasnya.
Politikus yang disapa AH ini menyebut, walau kontrak kerja sama sebagian besar media di Bontang bersumber dari APBD, itu tak serta merta membuat pemerintah dapat menyetir pemberitaan sesuai keinginan.
Kerja sama media dan pemerintah ialah menyiarkan program-program yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan. Sementara di luar itu, ketika berita kritik dimuat, pemerintah tak bisa intervensi redaksi media.
“Bila ada kerjasama pemberitaan, itu jalan. Kalau ada kritik, ya tidak bisa ditahan. Keberadaan media jelas penting buat menjaga check and balance,” ungkap AH.
Menanggapi itu, Ketua FJB Edwin Agustyan juga memberikan pandangan bahwa jurnalis tak bisa serta merta dilaporkan ke polisi karena karya jurnalistiknya. Terlebih dilaporkan atas dasar UU ITE. Untuk membuktikan karya jurnalistik itu sudah selaras kode etik atau tidak, mesti diselesaikan di Dewan Pers. “Saya berharap Diskominfo Bontang juga tahu soal SKB antara Kominfo, kepolisian, dan kejaksaan. Bahwa sengketa pers harus menggunakan UU Pers, bukan UU ITE ,” pungkasnya. (rls/ahr)