Oleh:
Hafsah
Pemerhati Masalah Umat
Kasus kekerasan pada anak-anak masih santer menghiasi halaman media cetak maupun online. Terbaru adalah kasus kekerasan yang terjadi di Kota Bontang Kaltim. Polres Bontang menahan pelaku penganiayaan bayi berusia 2 bulan yang merupakan ayah kandungnya sendiri.
Kapolres Bontang, AKBP Alex Bontang Frestian Lumban Tobing mengatakan, dari hasil penyelidikan kepolisian, bukti AA (34) melakukan penganiayaan tersebut telah terkumpul sehingga pelaku dapat ditahan.
Dari hasil penyelidikan, AA melakukan penganiayaan karena merasa sakit hati sering dianggap sebelah mata oleh keluarga istri, dan karena istrinya kerap menolak ajakan berhubungan suami istri. Oleh sebab itu tersangka melampiaskan kekesalan itu pada anaknya. Dalam berita media lain disebutkan bahwa pelaku terindikasi narkoba.
Tersangka kemudian dikenakan Pasal 80 ayat 2 Jo Pasal 76 C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dengan hukum pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 juta.
(https://radarbontang.com/gegara-sakit-hati-disepelekan-seorang-ayah-aniaya-bayinya-sendiri/)
Data kekerasan pada perempuan dan anak yang dimiliki UPTD PPA pada Januari – Mei tahun 2024 beragam mulai dari kekerasan fisik, seksual, hak nafkah anak, seksual (pornografi), bulying, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) hingga psikis.
UPTD PPA Kota Bontang mencatat data kekerasan pada anak dengan kekerasan fisik yang berada pada urutan pertama sebanyak 16 kasus setelah kekerasan seksual sebanyak 13 kasus. Kemudian kekerasan psikis 6 kasus, kekerasan hak nafkah anak 2 kasus, bulying 2 kasus, ABH 2 kasus dan seksual (pornografi) 2 kasus.
(https://mediakaltim.com/hingga-mei-2024-kasus-kekerasan-fisik-dan-seksual-pada-anak-di-bontang-urutan-teratas)
Maraknya kasus kekerasan yang terjadi membutuhkan perhatian serius terutama dari pihak-pihak terkait.
Sejauh ini, pemerintah melalui anggota Komisi 1 DPRD Kota Bontang memberi tanggapan bahwa pemerintah harus memiliki ketegasan dari sisi regulasi seperti sanksi bagi para pelaku, kemudian dari sisi pengawasan orang tua juga harus ditingkatkan. Termasuk sisi pendidikan dan melibatkan tokoh masyarakat setempat.
langkah-langkah preventif dan rehabilitatif juga harus dioptimalkan untuk menekan angka kekerasan pada anak. Pendidikan mengenai hak-hak anak, dampak kekerasan, dan cara-cara melaporkan kejadian kekerasan perlu diperkenalkan sejak dini. Selain itu, dukungan psikologis dan medis bagi korban juga harus menjadi prioritas untuk membantu proses pemulihan mereka.
Sebab Kekerasan pada Anak Terjadi
Segala cara akan ditempuh tentu dengan harapan dapat menyelesaikan masalah tersebut. Faktanya, kasus terus meningkat dan tidak selesai dengan tuntas. Efeknya hanya menyisakan dampak turunan, terutama psikis dan mental bagi korban.
Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang bertindak kasar adalah lemahnya iman dan akhlak. Disadari atau tidak, hidup saat ini menjauhkan peran agama dari sisi kehidupan manusia. Pengaruh sekularisme sangat kental mewarnai kehidupan saat ini sehingga siapapun berpotensi untuk menjadi pelaku.
Faktor pendidikan yang rendah membuat masyarakat hidup dalam kungkungan kebodohan berfikir. Pendidikan tinggi hanya label untuk mencari pekerjaan, bukan untuk bekal mendidik anak dan generasi. Orientasi pendidikan saat ini hanya mengarahkan pada materi, bukan menjadi support kehidupan.
Pengaruh psikologis juga sering menjadi penyebab tindakan kekerasan akibat tekanan hidup yang mendera. Latar belakang keluarga yang tidak harmonis kadang menyisakan trauma bagi pelaku.
Selain itu, faktor ekonomi dapat mempengaruhi sikap seseorang bertindak kasar karena tidak mampu mewujudkan kehidupan yang layak. Antara keinginan dan kemampuan tidak seimbang sehingga memicu perilaku arogan seseorang. Persoalan sepele akhirnya memicu hingga terjadi tindak kekerasan.
Semua masalah ini berasal dari sistem kehidupan yang mengedepankan akal manusia. Peran Allah SWT sebagai pencipta hanya sebatas pengakuan, tidak menjadi aturan hidup sehingga berpengaruh pada lemahnya keimanan dan kesehatan mental masyarakat. Lahirlah manusia-manusia yang berkarakter kasar dan bersumbu pendek.
Langkah Pencegahan Kekerasan dalam Islam
Islam memiliki konsep sahih dalam mewujudkan perlindungan terhadap anak. Allah SWT telah mewajibkan para orang tua untuk menjalankan tanggung jawab mereka dalam menjaga, melindungi, dan mendidik anak. Konsekuensi dari tanggung jawab ini terkait erat dengan pahala dan dosa.
Dalam rumah tangga, peran antara suami dan istri berjalan sesuai fitrahnya. Peran ibu adalah sebagai ummun wa rabbatul bait.
Ayah sebagai wali bertanggung jawab mencari nafkah, juga sebagai pengayom dan pelindung keluarga. Bahkan menjadi penanggung jawab dunia akhirat bagi keluarga. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(TQS. At-Tahrim [66] 6)
Sebagai bentuk tanggung jawab, maka orang tua harus memastikan keadaan anak terpenuhi lahir batin. Tercukupi kebutuhan lahiriah dalam bentuk asupan gizi yang tercukupi, pendidikan, kesehatan terjamin termasuk rasa aman selagi hidup.
Untuk menjamin semua berjalan sesuai aturan, maka negara memberi support sistem dengan perangkat sanksi bagi yang melanggar hak-hak anak bahkan bagi pelaku kekerasan.
Bagaimana jika pelaku dalam hal ini adalah orang tua sendiri. Bagi pelaku penganiayaan, Islam memiliki sistem sanksi yang harus diberlakukan kepada pelakunya sesuai tingkat kriminalitas yang dilakukan. Ini akan kembali pada pendapat hakim sesuai standar hukum syariat yang berlaku.
Syekh Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya Nizam Al-Uqubat, menjelaskan bahwa batasan tindakan atau perbuatan kriminal adalah perbuatan tercela (qabih). Perbuatan tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariat.
Adapun penganiayaan bisa terkategori jinayat jika pelaku melakukan hal yang membahayakan organ tubuh, baik itu mata, kepala, punggung atau yang lain. Sanksinya sesuai diat yang ditetapkan syariat. Bisa pula terkategori takzir jika pelaku melakukan kriminalitas yang terkategori melanggar hak seorang hamba. Bahkan, bisa terkategori kisas jika sampai menghilangkan nyawa.
Selanjutnya, negaralah yang berperan dalam pelaksanaan sanksi terhadap pelaku. Negara pula yang berperan dalam menciptakan iklim yang kondusif agar penganiayaan terhadap anak baik dilakukan oleh orang tua sendiri, maupun dari lingkungan sosial tidak terjadi. Caranya adalah dengan melakukan edukasi secara kontinu mengenai kewajiban memberi perlindungan terhadap anak baik di lingkungan keluarga maupun sosial.
Maka, melindungi anak dari kekerasan membutuhkan sistem yang sehat. Negara berperan menciptakan atmosfer kondusif bagi terwujudnya keamanan bagi anak. Masyarakat bahu-membahu merealisasikan apa yang menjadi visi negara bagi generasi, sedangkan para individu masyarakat menjalankan perannya masing-masing sesuai standar syariat. Kondisi ideal ini akan memastikan terwujudnya tatanan keluarga ideal sebagai institusi pencetak generasi masa depan. (MNews)
Wallaahualam bissawab.