spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kekerasan Seksual Marak, Harus Sistemis Lindungi Anak!

Oleh:

Emirza Erbayanthi, M.Pd

(Pemerhati Sosial)

Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru berinisial R telah masuk persidangan. Bahkan terdakwa telah dituntut penjara selama 12 tahun. “Melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak,” kata Jaksa Penuntut Umum, Edgar Hubert Deardo.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI 23/2002 tentang Perlindungan Anak, durasi tuntutan itu dikurangkan selama terdakwa berada dalam tahanan sementara. Kami juga menuntut terdakwa tetap ditahan.

Kepala UPTD Bontang, Sukmawati mengatakan, kasus yang menimpa pelajar kelas VI SD itu terjadi di lingkungan sekolah. Terduga pelaku merupakan oknum guru dari pelajar tersebut. Alhasil, pihaknya langsung melakukan pendampingan terhadap korban, baik pendampingan kejiwaan maupun pendampingan BAP di kepolisian. (samarinda.prokal.co, 28/10/2023)

Jika negara benar-benar ingin mewujudkan perlindungan terhadap anak, selayaknya negara menempuh langkah strategis dan sistemis untuk melindung anak. Anak kerap menjadi korban kekerasan seksual. Ini adalah potret kelam kehidupan anak di bawah sistem kapitalisme.

Korban Kekerasan

Anak adalah generasi harapan bangsa. Di tangan merekalah estafet satu peradaban. Atas dasar ini, negara berperan menjamin seluruh hak-hak anak. Tetapi, apa jadinya jika negara gagal menjamin?

Berdasarkan data mengenai jumlah korban kekerasan terhadap anak, terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Merujuk data 2019, kasus kekerasan pada anak sebanyak 12.285, sedangkan  pada 2020 menjadi 15.972.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak di tahun 2023 ada 23.508 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. (kemenpppa.go.id)

Baca Juga:   Alhamdulillah, Raih Juara 3 Nasional Media PAUD Digital

Sungguh ironis guru dan instansi yang seharusnya melindungi anak justru ada oknum yang melakukan pelecehan dan kekerasan seksual. Belum lagi orang terdekat, mengapa bisa terjadi?

Berharap kepada siapa lagi agar anak aman dari pelecehan dan kekerasan seksual? Tidak adanya kesinkronan dalam hal mencegah dan menjaga agar anak aman dari pelecehan seksual, salah satunya media.

Korban Kemiskinan

Ekonomi yang sulit membuat anak ikut menanggung beban. Tidak sedikit anak harus bekerja membantu perekonomian keluarga. Konsekuensinya, sebagian dari mereka memilih putus sekolah. Apalagi biaya pendidikan semakin meningkat. Saat bekerja inilah, anak-anak berada pada kondisi yang rentan terhadap kekerasan seksual.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) menilai bahwa faktor ekonomi merupakan pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang makin meningkat, kemarahan terhadap pasangan, dan ketakberdayaan mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak.

Begitu mudah kita temukan kasus kekerasan pada anak karena tekanan hidup di tengah keluarga. Saat memilih hidup di jalanan pun mereka harus bertaruh dengan preman jalanan dan pelaku kejahatan seksual.

Belum Sistemis

Pada 15 Juli lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak. Ada tujuh strategi yang termaktub dalam peraturan ini.

Pertama, penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi, dan penegakan hukum. Kedua, penguatan norma dan nilai antikekerasan. Ketiga, penciptaan lingkungan yang aman dari kekerasan. Keempat, peningkatan kualitas pengasuhan dan ketersediaan dukungan bagi orang tua/pengasuh.

Kelima, pemberdayaan ekonomi keluarga renta. Keenam. ketersediaan dan akses layanan terintegrasi. Ketujuh, pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri anak. Sayangnya, langkah tersebut belum menyentuh ranah sistem.

Baca Juga:   Realitas Investasi Tak Mengentaskan Kemiskinan

Karena yang bertanggung jawab dalam terciptanya atmosfer yang tidak sehat untuk anak adalah negara. Munculnya masalah adalah dampak dari kebijakan negara. Kebijakan tidak populis berdampak pada kehidupan anak.

Kenaikan harga kebutuhan pokok berimbas pada tidak stabilnya ekonomi keluarga. Konsekuensinya, anak harus putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

Kekerasan yang anak alami di lingkungan keluarga juga karena latar belakang tekanan hidup. Ada juga anak yang merelakan masa bermainnya berganti dengan dunia kerja yang tidak cocok untuk anak. Ancaman kekerasan fisik berkelindan dengan kejahatan seksual dari predator.

Jika negara benar-benar ingin mewujudkan perlindungan terhadap anak, selayaknya negara menempuh langkah strategis dan sistemis untuk melindung anak.

Pandangan Islam

Islam memandang bahwa secara fitrah, anak berhak memperoleh perlindungan dan kasih sayang. Oleh karena itu, keluarga berperan menciptakan kehangatan, mendampingi tumbuh kembang anak, dan mengenalkan konsep dasar keimanan sehingga anak tumbuh sebagai hamba Allah yang taat. Orang tua juga berperan mengenalkan sistem sosial islami kepada anak.

Masyarakat juga berperan mendukung perkembangan anak dengan menciptakan sistem sosial yang sehat dan ramah anak. Islam mengajarkan bagaimana menjaga hak antara sesama muslim, tidak saling mengejek, saling menjaga hak dan menumbuhkan karakter untuk saling membantu.

Negara berkewajiban untuk mengadopsi kebijakan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan mendasar rakyat dan memastikan terpenuhinya kebutuhan mereka secara utuh dan menyeluruh, individu per individu.

Negara wajib memperhatikan aspek sosial masyarakat, ekonomi, pergaulan, pendidikan, dan seluruh aspek kehidupan lainnya. Negara bertugas memberi jaminan keamanan, perlindungan terhadap harta, serta memastikan keselamatan jiwa.

Baca Juga:   Banjir Rob Terus Berulang, Begini Cara Islam Mengatasinya!

Negara secara langsung memberikan perlindungan pada institusi keluarga sehingga anak terlindungi dari pelecehan dan haknya sebagai anak terpenuhi. Maka, cita-cita untuk melindungi anak harus bersifat sistemis. Sebagai aset bangsa, harus ada langkah strategis untuk melindungi anak yang akan menjadi generasi penerus peradaban.

Butuh Sistem Politik yang Kondusif

Hal penting dalam pelaksanaan hukum syarak di dalam keluarga adalah adanya peran sistem yang mendukung. Walaupun kita telah menjaga keluarga dengan ide-ide Islam dan membina anak-anak secara intensif, apabila sistem di tengah kehidupan keluarga tidak menggunakan aturan-aturan Islam, maka sulit bagi keluarga bisa bertahan.

Pemikiran-pemikiran yang bertentangan akan memengaruhi tingkah laku dan moral. Maka kesulitan ekonomi akan berdampak pada sulitnya pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik anggota keluarga. Dari sinilah bisa muncul tindak kriminalitas dan penyimpangan sosial lainnya.

Maka, penataan kehidupan urusan masyarakat sangat diperlukan, yaitu dengan sistem politik Islam. Sistem politik Islam mampu menyolusi semua persoalan, baik persoalan individu, keluarga, maupun masyarakat.

Sistem Islam mampu membendung serangan musuh-musuh Islam dan menjaga masyarakat agar tetap dalam keimanan dan tatanan yang sesuai aturan Islam. Hal ini dilakukan dengan penerapan aturan Islam secara kafah sehingga tercipta tatanan masyarakat yang baik, damai, dan sejahtera.

Di bawah naungan syariat Islam, beban orang tua akan ringan karena disediakan pendidikan islami yang berkualitas dengan gratis. Penerapan syariat Islam kafah akan membendung ideologi rusak agar tidak masuk ke tengah umat.

Wallahualam bissawab.

Most Popular