Oleh:
Mira Ummu Tegar
(Aktivis Muslimah Balikpapan)
SMPN 9 Bontang memiliki lingkungan asri dengan dihiasi tanaman bambu, bunga dan pohon buah di sekitarnya menciptakan suasana belajar yang nyaman dan mendukung bagi siswa. Namun di balik keasriannya sekolah ini dihadapkan dengan keterbatasan tenaga pendidik.
Kepala SMPN 9 Bontang, Lilyn Indriyawati, mengungkapkan jika saat ini mereka hanya memiliki 19 guru yang menangani 342 siswa. Jumlah ini menurut Data Pokok Pendidikan (Dapodik), dianggap mencukupi. Namun secara operasional, kondisi ini menuntut pengorbanan besar dari para guru. Banyak guru harus mengajar hingga 36 jam per minggu, tentu sangat melelahkan dan berharap adanya tambahan tenaga pendidik agar kualitas pengajaran semakin optimal.
Hal yang sama juga dialami SMPN 2 Bontang menghadapi tantangan serius akibat kekurangan tenaga pengajar. Sebanyak enam guru dari sekolah tersebut akan pensiun pada tahun ini, sementara satu guru lainnya akan dimutasi ke daerah lain. Guru yang biasanya mengajar 24 jam kini mengajar hingga 30 bahkan 36 jam per minggu. Kepala SMPN 2 Bontang, Siti Chusuning Khayah, menjelaskan bahwa kondisi ini berdampak pada pelaksanaan Program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang seharusnya membutuhkan tenaga pengajar yang memadai.(Kaltim.akurasi.id 27/11/2024).
Fakta di atas merupakan satu dari sekian banyak persoalan dunia pendidikan di negeri ini. Pendidikan merupakan ujung tombak dari sebuah peradaban, tentunya memiliki posisi penting bagi sebuah bangsa. Pendidikan berkualitas akan mencetak generasi penerus gemilang, pastinya menjadi impian setiap bangsa. Namun sayangnya dunia pendidikan negeri ini tak pernah lepas dari berbagai persoalan yang terus bergulir, bak bola salju semakin membesar.
Berbagai persoalan pendidikan silih berganti mewarnai potret buruk dunia pendidikan, mulai dari dekadensi moral generasi, kurikulum silih berganti, guru-guru dengan gaji minim dan terintimidasi, hingga sarana pendidikan tak memadai terpampang nyata dihadapan kita saat ini.
Terbatasnya tenaga pendidik bukanlah perkara remeh, jika guru saja kurang bagaimana bisa negara menghadirkan kualitas pendidikan yang baik. Guru digambarkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa betul-betul nyata adanya, berjuang mendidik generasi dengan porsi waktu yang semakin tinggi namun minim dalam jumlah gaji.
Seharusnya hal ini menjadi perhatian pemerintah untuk menambah jumlah tenaga guru apalagi mengingat tingginya angka pengangguran. Namun apa lajur UU No. 20 tahun 2023 Pasal 66 telah melarang pengangkat pegawai non-ASN atau biasa di sebut pegawai honorer.
Rendahnya gaji guru tak lepas dari ketidakmampuan pemerintah dalam hal penggajian, anggaran yang terbatas dan prioritas tak jelas menjadikan dunia pendidikan terabaikan. Dirapelnya gaji guru honorer hingga 6 bulan dan dengan jumlah yang sangat rendah. Kemudian gaji dosen hanya menyentuh angka tiga juta, tentunya menjadi pertanyaan besar, bisakah dengan kondisi seperti ini para pendidik mampu maksimal mengerahkan potensinya mengajar generasi sementara di sisi lain dia dipusingkan dengan persoalan ekonominya. Ditambah lagi pihak sekolah pun takut terbebani jika guru ditambah lagi.
Polemik ini terus menghantui para guru, mirisnya terus saja terjadi tanpa solusi yang mengakhiri. Namun demikianlah sistem pendidikan negeri yang tercengkram sistem kapitalisme sekuler dalam menempatkan seorang guru. Sistem yang hanya fokus pada nilai materi semata, menggerus arti seorang guru di mata muridnya. Wali murid/ orang tua murid bahkan di mata dunia. Profesi guru yang seharusnya dihormati, dihargai bahkan dimuliakan, hilang tak berbekas. Tengoklah kasus-kasus yang merendahkan guru yang dilakukan muridnya beserta orang tua murid atau sebaliknya. Guru yang merendahkan dirinya dengan berbagai kasus pelecehan seksual terhadap muridnya. Miris, tapi inilah faktanya.
Kapitalisme sekuler yang melahirkan konsep kebebasan telah menjadikan kemerosotan nilai-nilai moral dan akhlak. Konsep ini juga telah merusak tata kelola sumber kekayaan negeri. Sumber daya alam dan energi (SDAE) yang melimpah telah Allah SWT karuniakan untuk manusia, namun atas nama kebebasan kepemilikan SDAE ini hanya beredar pada segelintir orang saja yakni para kapitalis oligarki.
Sistem ini memberi ruang luas bagi siapapun yang memiliki uang dapat menguasai sumber-sumber kekayaan dan hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak heran kemudian, peredaran kekayaan negeri tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Kesenjangan sosial sangat dalam tercipta. Wajar kemudian sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim anggaran, termasuk kekurangan guru.
Ekonomi kapitalisme menjadikan kebutuhan pokok rakyat berbiaya mahal/ besar harus ditanggung setiap individu termasuk guru. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, BBM, gas, listrik, air, dan PPN lebih sering terjadi dibandingkan kenaikan gaji guru.
Hal ini menjadi krusial, mengingat Indonesia punya visi Indonesia emas 2045, salah satu pilarnya yakni pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimana pilar ini bisa ditegakkan jika dunia pendidikannya kekurangan guru.
Hal berbeda ditawarkan Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam, pendidikan merupakan kebutuhan pokok komunal yang wajib bagi negara mengadakannya. Tentulah pengadaannya tidak asal sebagaimana sistem kapitalisme sekuler. Negara akan menyediakan sarana prasarana pendidikan dengan kualitas dan kuantitas terbaiknya, termasuk dalam hal ketersediaan guru.
Islam menetapkan ilmu adalah salah satu bekal berharga dalam mengarungi kehidupan. Islam menghargai ilmu dan menjunjung tinggi para pemilik ilmu apalagi para pengajarnya. Terlebih posisi strategis guru sebagai pendidik calon pemimpin peradaban masa depan bangsa. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan .” (TQS. Al-Mujadilah: 11)
Sistem Islam pun menempatkan para pendidik sebagai individu yang wajib dihormati dan dimuliakan kedudukannya. Salah satunya dengan mengapresiasi besaran gaji guru sehingga para guru dapat optimal dan fokus mengerahkan ilmu dan tenaganya demi kecerdasan generasi.
Tengoklah pada masa Khalifah Umar bin Khattab, guru di gaji hingga 15 Dinar/bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Maka jika dikonfersi dengan nilai rupiah saat ini, satu gram emas adalah Rp 1,3 juta, akan didapati jumlah gaji guru per bulannya mencapai Rp 83 juta lebih. Jika sudah demikian adakah lagi guru yang nyambi bekerja sebagai ojol misalnya atau jualan cilok demi menyambung hidup.
Tentu pertanyaan selanjutnya dari mana dana tersebut untuk menggaji para guru? Islam memiliki aturan kehidupan yang komprehensif. Sistem ekonomi Islam menempatkan harta kekayaan negeri menjadi tiga kategori kepemilikan yakni, individu, negara dan umat. Dan SDAE yang melimpah merupakan kepemilikan umat yang wajib negara kelola dan hasilnya diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyatnya. Inilah salah satu sumber pemasukan negara yang nantinya membiayai sarana prasarana pendidikan termasuk dalam hal kekurangan guru.
Jika sudah demikian, masihkah berharap dengan sistem kapitalisme sekuler yang jelas telah merusak tatanan kehidupan kita? Tentu sebagai seorang muslim harus menyadari penting dan urgensinya kembali menerapkan Islam dalam kehidupan berbangsa. Sehingga dengannya rahmat Allah akan menaungi seluruh alam semesta.
Wallahu a’lam bishowab.