spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kompak Jadi Mualaf, Ini Kisah Rentetan Hidayah 3 Kakak Beradik di Bontang

BONTANG – Febi (22) tidak menyangka sejak enam tahun terakhir dirinya bakal memeluk Agama Islam. Bahkan kedua adiknya pun memilih untuk menjadi mualaf mengikuti jejaknya.

Terlahir dalam keluarga yang taat menjalankan Agama membentuk kepribadiannya yang cukup keras. Tak ada kompromi. Saban hari ia melihat adik kecilnya pulang mengenakan kopiah dan sarung. Kontan saja ia langsung membuangnya.

“Itu agama yang nggak benar,” kenang Febi saat memarahi adik kecilnya yang cuman ikut-ikutan salat bersama temannya.

Pengenalannya tentang Islam banyak dipengaruhi lingkungan pertemanan. Kala itu dia masih duduk di bangku kelas satu SMA Negeri 2 Bontang sekitar 2017.

Febi remaja cukup aktif di sekolah. Ia juga tergolong siswa pintar. Seperti gadis remaja pada umumnya, ia juga memiliki pacar yang kini sudah mempersuntingnya belum lama ini.

“Kebetulan suami yang pas waktu itu masih pacaran, kami sering belajar kelompok. Dari situ kami sering diskusi soal agama,” ujarnya.

Perdebatan soal agama selalu jadi ujung dari obrolan Febi dan sahabat-sahabat karibnya. Sampai suatu ketika ia kesulitan menjawab seputar pertanyaan yang diberikan kepadanya.

Berawal dari situ, Febi kemudian mencari informasi seputar Islam. Berbagai literatur ia pelajari. Mulai dari buku, dan berselancar di internet.

Perlahan Febi malah terpikir. Begitu banyak pertanyaan muncul seputar agama yang ia imani. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya ke seorang agamawan di agama yang dulu diimaninya.

Namun jawaban yang ia dapatkan tak sesuai harapan. Malah memunculkan segudang pertanyaan lain.

Singkat cerita Febi mulai gamang dengan apa yang dia percaya selama ini. “Banyak bertanya-tanya lah saya. Sampai saya malah kepengin tahu tentang Islam. Saya cari-cari tahu terus. Kebetulan sahabat-sahabat saya juga banyak mendukung,” ujarnya.

Diskusi Febi tentang agama sampai ke telinga para guru di sekolah saat itu. Beruntung, beberapa guru pun banyak mengajarkan dirinya.

Singkat cerita, Febi makin tertarik melihat ajaran Islam. Rupanya tak seperti yang dia pikirkan selama ini. Malah banyak mengajarkan tentang kedisiplinan beribadah, dan mengajarkan kedamaian. Sehingga alasan itu membuatnya makin mantap mau menjadi mualaf.

Baca Juga:  Bontang Raih Adipura Kencana, Wawali Apresiasi Pasukan Kuning

“Akhirnya saya coba beranikan diri ngomong ke mama. Sampai kami berdebat keras. Mama menentang. Bahkan saya sempat diusir,” ungkapnya.

Pertentangan itu sempat membuat hubungannya sedikit renggang dengan sang ibu. Pasalnya, Febi yang dulu getol mengajak ibunya menjadi aktivis dan pelayan di rumah ibadah malah berbalik arah.

Restu untuk menjadi mualaf tak diterima. Sang ibu menutup rapat-rapat keinginan anaknya. Namun, Febi tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Akhirnya, tepat di hari pertama ramadhan pada saat itu, ia ditemani beberapa guru di sekolah dan kerabatnya mendatangi Badan Pembinaan Mualaf Yayasan Baiturrahman Pupuk Kaltim.

Febi pun bersyahadat. Seketika air mata mengalir deras. Begitu juga dengan para guru, dan teman-teman yang menemaninya. Mereka saling merangkul.

Setibanya pulang ke rumah, tensi hubungannya masih dingin dengan sang ibu. Tak ada percakapan. “Diam-diaman lah kami. Waktu itu mama nggak tahu kalau saya sudah jadi Islam,” katanya.

Bahkan Febi harus mencuri-curi waktu mengenakan hijab. “Kalau di rumah saya nggak pakai. Pas mau keluar rumah agak jauh saya pakai hijabnya,” ujarnya

“Sampai suatu ketika mama lagi masak. Terus mama bilang itu daging B2, jangan dimakan yah. Di situ saya mulai kepikiran mama akhirnya perlahan mulai menerima pilihan saya,” ujar Febi.

Sejak menjadi mualaf Febi merubah namanya menjadi Anisa Febi Azzahra.

Mualaf Sang Adik, Sindi

Cerita lainnya datang dari sang adik, Sindi. Hidayah itu ia terima sekitar setahun lalu. Tepatnya pada Februari 2022. Berbeda dengan sang kakak Febi, Sindi memang tidak begitu fanatik. Namun tiap Minggu wajib ikut ibadah.

“Saya dulu suka pakai jilbab masih kecil. Ikut-ikut buka puasa juga sama teman-teman kecil. Tapi kakak marahin saya,” ujarnya.

Sindi menuturkan, dirinya mulai gamang soal agama yang dianut juga semasa duduk di bangku sekolah. Pasalnya di identitas ia Muslim namun hari-hari ia tidak mengikuti ajaran Islam. “Karena mama kan non-muslim jadi kami semua ikut agama mama,” ujarnya.

Baca Juga:  Mantan Pj Kepala Desa di Kukar Korupsi Rp 885 Juta

Status agama yang menurutnya tak jelas ini harus ia perjelas. “Jadi bapak itu muslim, kebetulan saya sama kakak beda bapak. Tapi saya ikut agama mama meskipun identitas saya Islam,” ujarnya.

Beruntungnya, lingkungan pergaulan Sindi mendukung penuh dirinya untuk belajar Agama Islam. Itu ditambah guru-gurunya yang membimbing dirinya tentang ajaran Islam.

Sampai suatu ketika, Sindi kebetulan sedang menggunakan aplikasi di media sosial. Saat itu ia melihat video tentang Surat Al-Ikhlas.

“Ada ayat di surat ini kan yang bilang Tuhan cuman satu. Nah ini yang buat saya makin penasaran memperdalam ilmu Agama. Untungnya teman-teman dan guru di sekolah ikut membantu,” ujarnya.

Beberapa bulan belajar tentang Akidah Islam, Sindi mengikuti jejak sang kakak, Febi. Ia juga ingin mengucap dua kalimat syahadat. Lagi-lagi ia juga mendapat pertentangan dari sang ibu.

“Mama bilang kalau saya pindah agama. Sudah nggak mau lagi biayain saya,” ujarnya.

Sama seperti sang kakak, Febi juga berkeras dirinya sudah dewasa, dan berhak memilih apa yang dia putuskan.

“Mama sempat nangis pas saya keluar kamar pakai jilbab. Saya sebenarnya sedih juga. Tapi ini pilihan saya,” terangnya.

Kerasnya hati sang ibu pun diluluhkan oleh keinginan putrinya itu. Restu itu ia dapatkan kala sang kakak, Febi berangkat salat tarawih. “Mama terus bilang, kamu nda ikut sama kakakmu. Di situ saya lihat akhirnya terima pilihan saya,” ujarnya.

Kini setelah setahun memeluk Islam Sindi yang baru saja lulus SMA itu merubah namanya menjadi Alisya Zoya Sindi Azzahra.

“Sekarang lagi banyak belajat tentang rukun Islam, rukun Iman. Yang masih dasar-dasar,” ucapnya.

Adik Bungsu Ikut Mualaf

Hidayah terakhir datang dari sang bungsu, Bram Larossa (16) berbeda dari kedua kakak perempuannya itu. Bram kecil memang lebih berani. Ia bahkan sering ikut salat bareng teman-teman kecilnya. “Saya yang pulang-pulang bawa kopiah sama sarung terus dibuang sama Kak Febi,” kenang remaja yang masih sekolah itu.

Baca Juga:  Disdikbud Imbau Perpisahan Siswa Tidak di Luar Kota

Bram menuturkan, usai kakaknya Sindi memutuskan menjadi mualaf. Sang ibu sudah lebih dulu mewanti-wantinya agar tak mengikuti kedua kakaknya.

“Mama bilang awas yah kamu ikut-ikutan sama kakakmu. Saya diam aja. Nggak jawab sama sekali,” ujarnya.

Namun, di balik diamnya itu Bram lebih penasaran lagi dengan ajaran Islam. Terlebih dia banyak bergaul dengan pemuka agama Islam di lingkungan tempat tinggalnya.

“Saya sering nongkrong. Di situ saya banyak nanya. Kebetulan ada Ustadz yang sering ikut ngumpul sama kami. Saya belajar dari Pak Ustadz jadinya,” terangnya.

Hasi diskusi Bram dengan sang ustadz ia bawa diskusi dengan ibunya. Bahkan si bungsu ini banyak mendebat sang ibu.

“Saya nanya-nanya terus ke mama. Mungkin mama sudah ada feeling kalau saya ini saya tertarik dengan Islam,” ujarnya.

Bram mengaku, saat mengutarakan kemauammya untuk masuk Islam sang ibu tak banyak menentang. “Dibanding kakak saya yang paling mudah dapat restu,” ujarnya.

Tepat di pengujung tahun lalu Bram akhirnya bersyahadat. Namanya yang semula Bram Larossa, kini berubah menjadi lebih Islami, Muhammad Azril Bram Malik.

Kini ketiganya saling mendukung belajar Agama Islam.

Rhadiyah, Pelaksana Harian Yayasan Baiturrahman Pupuk Kaltim mengatakan, melalui pembinaan yang dilakukan Badan Pembinaan Mualaf ini para mualaf akan dibekali pendidikan agama. Tak sekadar dapat sertifikat saja.

Mualaf akan diikutkan program pengenalan akidah dan belajar mengaji. “Jadwalnya ada satu minggu sekali ada yang dua minggu sekali,” ujarnya.

Dia mengatakan, setiap tahunnya jumlah mualaf terus bertambah. “Rata-rata 30-50 setiap tahun,” ungkapnya.

Sampai saat ini jumlah mualaf yang terdata dari Yayasan Baiturrahman mencapai 300-an orang.

Penulis: Ahmad Nugraha

Most Popular