Oleh:
Rahmi Surainah, M.Pd
(Alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin)
Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Dr Akmal Malik menyempatkan mengunjungi Wisata Pantai Beras Basah di Kota Bontang, Kamis (12/10/2023) setelah menghadiri upacara dan Rapat Paripurna DPRD Kota Bontang dalam rangka Peringatan HUT Ke-24 Kota Bontang. Akmal Malik mengaku kagum dan menilai Pantai Beras Basah sangat indah dan bersih. Lautnya pun bersih.
Selanjutnya, Akmal berpesan agar Bontang bisa terus maju, maka mereka harus terus menggali potensi yang bisa diandalkan selain pantai atau laut karena, tidak lama lagi kurang lebih 1,8 juta orang akan hadir ke Kaltim, disebabkan kehadiran IKN. (Kaltimprov.go.id, 15/10/2023)
Beberapa daerah di Kaltim memang berupaya menggencarkan sektor pariwisata menjadi andalan di daerahnya. Termasuk Bontang, meski terkenal kota industri di sana juga terdapat SDA yang kaya nan indah. Oleh karena itu, ada upaya agar tempat pariwisata di sana dijadikan sebagai kemajuan kota atau potensi pendapatan daerah.
Namun benarkah demikian? Padahal kalau dikritisi berharap pada sektor pariwisata tidak seberapa dibanding dengan potensi SDA yang dimiliki daerah.
Pengalihan SDAE yang Diprivatisasi
Kaltim kaya akan SDAE namun kekayaan tersebut sayangnya tidak dikelola sendiri. SDAE diprivatisasi oleh pihak lain, yakni swasta atau asing. Jadi berharap kemajuan dengan menggali potensi pariwisata seharusnya tidak perlu karena yang didapat kecil tidak sebanding dengan potensi SDAE. Apalagi dampak negatif digalakkannya pariwisata, yakni liberalisasi ekonomi, sosial, dan budaya lebih besar dibanding keuntungan materi yang didapat.
Jamak diketahui datangnya masyarakat luar atau asing maka akan siap dengan konsekuensi yang dibawa mereka ketika mereka berwisata. Kemaksiatan berupa minuman keras, pergaulan bebas, terbukanya aurat tentu sepaket gaya hidup yang akan mempengaruhi masyarakat sekitar.
Di satu sisi ini pengalihan SDAE yang sukses diprivatisasi. Pariwisata digencarkan untuk menghibur atau sebagai ganti SDAE yang dikuasai swasta dan asing. Untung yang diraih berupa pendapatan tidak sebanding dengan buntung yang didapat masyarakat. Apalagi jika pihak luar negeri yang mengambil alih tempat wisata dipastikan masyarakat sekitar atau UMKM akan “gulung tikar” atau maksimal ‘hanya mampu bertahan hidup.
Demikianlah ketika salah dalam paradigma pengelolaan SDAE dan pariwisata. SDAE yang seharusnya dikelola negara tapi diambil alih oleh swasta atau asing. Pemerintah justru sibuk dengan menggencarkan pariwisata dengan UMKM lokal. Adapun SDAE yang dikuasai oleh swasta dan asing, pemerintah hanya diam bahkan mempersilahkan dieksploitasi. Tempat wisata dijadikan sebagai obyek kapitalisasi, sebagai penghibur SDAE yang sudah diprivatisasi.
Mirisnya lagi, pengelolaan pariwisata dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini memang semakin menjauhkan agama dari kehidupan. Seakan agama tidak mengatur bagaimana pariwisata yang benar tanpa harus mengundang kemaksiatan.
Sistem Kapitalisme sekuler saat ini memang menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian. Apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus berdamai dengan praktik kemaksiatan bahkan kesyirikan. Devisa didapat tidak sebanding dengan dosa yang mengundang murka dan bencana.
Kita dilenakan dengan hiburan pariwisata padahal SDAE sedang diincar namun kita diam saja. Kaltim kaya dengan SDAE seharusnya sejahtera, malah menggencarkan pariwisata yang justru mengundang dampak negatif dan membuat kita sengsara.
Pariwisata dalam Islam
Pariwisata tanpa terikat dan diatur syariat Islam hanya akan mengundang bahaya. Tujuan pariwisata dalam Islam bukan untuk meraih materi berupa manfaat, pendapatan dan kesenangan semata.
Dalam Islam pariwisata dikembangkan untuk meningkatkan ketakwaan umat Islam dan sarana dakwah bagi umat lain. Terkait keindahan alam misalnya maka akan dimanfaatkan untuk tadabbur alam, betapa indahnya ciptaan Allah.
Pariwisata meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, namun dalam Islam tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara. Tujuan utama dipertahankan pariwisata hanya sebagai Syiar atau sarana dakwah. Negara tidak akan mengeksploitasi pariwisata untuk kepentingan ekonomi dan bisnis.
Sektor pariwisata bukanlah sumber pendapatan yang bersifat tetap. Dalam Islam ada empat sumber tetap bagi perekonomian dalam negara, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi negara dalam membiayai perekonomianya.
Negara juga mempunyai sumber lain, baik melalui pintu zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah hingga dharibah. Semuanya ini mempunyai kontribusi yang tidak kecil dalam membiayai perekonomian negara. Dengan demikian hanya Islam sebagai negara yang mampu menyejahterakan rakyat. Islam tidak akan berharap pada pariwisata yang justru mengundang bahaya.
Negara dalam Islam akan membuat potensi SDAE yang melimpah dikelola dengan benar. Negara juga akan mengembangkan sektor lain seperti pertanian, industri, teknologi, dll sehingga membuat masyarakat sejahtera tanpa berharap pada sektor pariwisata.
Demikianlah pariwisata dalam Islam hanya untuk menambah keimanan. Berbeda sekali dengan pariwisata saat ini yang dijadikan ajang bisnis materialis meski mengundang bahaya dan mengikis keimanan.
Wallahu a’lam