Oleh:
Ita Wahyuni, S.Pd.I.
(Pemerhati Masalah Sosial)
Mengkhawatirkan, itulah gambaran untuk kondisi Lapas Kelas IIA di Kota Bontang saat ini. Bagaimana tidak, Lapas tersebut mengalami krisis over kapasitas yang parah, dengan tingkat keterisian mencapai 400 persen dari kapasitas normal. Kepala Lapas Kelas IIA Kota Bontang, Suranto, mengatakan setiap tahun kapasitas lapas bertambah. Lapas Kelas IIA Kota Bontang sebenarnya hanya mampu menampung sekitar 360 orang, namun jumlah warga binaan terus meningkat dari 1.600 orang pada Agustus 2023 menjadi lebih dari 1.700 orang pada 2024, dan dikhawatirkan pada tahun 2025 bisa mencapai 2000 orang (Kitamudamedia.com, 19/08/2024).
Suranto mengungkapkan bahwa sekitar 70 persen dari 1.700 warga binaan di Lapas Kelas IIA Bontang berasal dari Kutai Timur (Kutim) dan Samarinda. Suranto juga menjelaskan, di Kutim tidak memiliki lapas, dan Bontang membawahi dua wilayah makanya di Kaltim dan Kaltimtara lapas Bontang yang paling penuh. Ia pun berharap agar pemerintah dapat menambah kapasitas ruang di lapas, seperti dengan menambah lantai dari dua menjadi tiga lantai.
Sekulerisme Biang Kerok
Fenomena over kapasitas pada Lapas hampir terjadi di semua daerah dan belum mendapatkan penanganan serius dari pemerintah. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kaltim, Sofyan mengungkapkan Lapas dan Rutan di Kaltim dan Kaltara sebanyak 13 Unit Pelaksana Teknis dengan total penghuni 12.515 orang sedangkan daya tampung hanya bisa memuat 3.586 orang, sehingga terjadi over kapasitas hingga 300 persen. Sebanyak 13 Unit Pelaksana Teknis itu berada di Samarinda, Balikpapan, Bontang, Tarakan, Tenggarong, Nunukan, Tanjung Redeb dan Tanah Grogot (Diskominfo.kaltimprov.go.id, 16/08/2021).
Fakta di atas semakin menunjukkan persoalan ini tampak kusut bahkan nyaris tanpa solusi. Padahal seharusnya negara tetap wajib memberikan kehidupan yang layak dengan fasilitas yang baik agar upaya pembinaan dan penyadaran para tahanan dapat berjalan dengan optimal. Sehingga mereka sadar dan bertaubat serta tidak melakukan tindak kriminal kembali setelah lepas dari masa tahanan. Namun sayangnya, negara telah lalai dalam memelihara dan menyadarkan para tahanan yang berada dalam lapas.
Sementara itu, sistem sekularisme yang mengatur negeri ini menjadi biang kerok dan semakin memperparah permasalahan tersebut. Kehidupan yang sekuler telah menyebabkan manusia ringan dalam melakukan kejahatan. Budaya permisif, individualisme, materialisme, dan kebebasan bertingkah laku ikut menyumbangkan perilaku amoral yang berujung pada meningkatnya kriminalitas. Akhirnya penjara penuh, diisi para penghuni baru dan penghuni lama yang terus mengulang kejahatannya.
Ditambah lagi, hukum sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan tak menjerakan. Hal ini wajar, karena penegakan hukum yang dibuat berdasarkan buatan manusia tidak bersumber pada syariat Islam. Sehingga jauh dari orientasi untuk menegakkan kebenaran. Sanksi hukuman yang diberikan pun bersifat lemah, tidak tegas dan tak menimbulkan efek jera bagi perilaku kejahatan. Bahkan banyak kejahatan justru berlanjut dari dalam lapas.
Seharusnya negara memiliki sistem sanksi yang tegas sehingga dapat menjerakan pelaku dan mampu mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Alih-alih demikian, sistem hukum yang lahir dari rahim sekulerisme ini menjadi “buruk rupa” akibat maraknya jual beli hukum. Jika seperti itu, lantas bagaimana hendak menurunkan angka kriminalitas?
Solusi Tuntas
Negara dalam sistem Islam berperan sebagai pengurus sekaligus perisai bagi umat. Maka, negara akan bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan seluruh rakyat termasuk para narapidana dan mendudukkan perkara Lapas adalah sesuatu yang penting. Negara juga akan memastikan Individu-individu yang ada dalam masyarakat berperilaku sesuai dengan syariat. Ketaatan mereka terhadap aturan negara semata-mata bukti keimanannya pada Sang Pencipta. Sehingga jarimah atau tindakan kriminal akan jarang ditemui.
Hal demikian dibarengi dengan pemberlakuan hukum Islam yang bersumber dari syariat Allah yang bersifat zawajir (pencegah kejahatan/maksiat) yaitu mencegah orang lain untuk berbuat kejahatan/maksiat yang serupa. Serta sebagai jawabir (penebus dosa) yang artinya karena pelaku kejahatan/maksiat sudah mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah akan menghapus dosanya dan meniadakan baginya sanksi di akhirat (siksa neraka), bahkan mendapat pahala. Sehingga dengannya akan menimbulkan efek jera dan memunculkan rasa takut kepada Allah, serta melahirkan individu dan masyarakat yang bertakwa.
Adapun keberadaan penjara, ia adalah tempat menjatuhkan sanksi bagi pelaku kejahatan untuk membuat jera pelaku dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Hanya saja, meski dengan sanksi tegas, penjara tetap dibuat secara manusiawi, layak huni, tetapi tidak mengistimewakan penghuninya. Para napi pun diberikan pemahaman agama yang menyeluruh. Suasana penjara dibuat agar mereka kondusif untuk beribadah.
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin juga telah mencontohkan sanksi dengan model pemenjaraan ini. Pada masa Rasulullah SAW. dan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, sanksi pemenjaraan terkadang di dalam rumah atau masjid. Pada saat itu, belum ada ruang penjara secara khusus. Kemudian, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., rumah Shafyan bin Umayyah dijadikan sebagai penjara setelah membelinya seharga 400 dirham. Khalifah Ali bin Abu Thalib ra. juga pernah membuat penjara yang bernama Nafi’an dan Makhisan.
Demikianlah, solusi tuntas untuk mengurai problem over kapasitas pada lapas. Tentu saja, solusi yang ditawarkan oleh sistem Islam ini akan mampu menekan tindak kriminalitas. Sebab, pemahaman akan syariat menjadikan kaum muslim senantiasa menjaga diri untuk tidak melakukan pelanggaran.
Wallahu a’lam bishshawab