Oleh:
Rahmi Surainah, M.Pd
Alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin
Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang diberikan kepada narapidana dan anak berkonflik dengan hukum ketika memenuhi syarat-syarat tertentu. Remisi diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Ada beberapa jenis remisi, salah satunya remisi khusus yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana, seperti Idul Fitri, Natal, Nyepi, dan Waisak. Tak ayal saat natal kemarin sebanyak 113 narapidana di Lapas Kelas IIA Bontang pun menerima remisi khusus Hari Raya Natal.
Kepala Lapas Kelas IIA Bontang, Suranto, melalui Kasubsi Registrasi, Dwi Satrio Kuncoro menjelaskan, mereka didominasi oleh narapidana kasus narkotika serta perlindungan perempuan dan anak. Total penerima remisi, 59 di antaranya merupakan narapidana kasus narkotika, disusul oleh 30 narapidana kasus perlindungan anak.
Selain itu, remisi juga diberikan kepada 10 narapidana kasus pencurian, 6 kasus penggelapan, dan 5 kasus pembunuhan. Masing-masing satu narapidana kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perbankan, dan penipuan juga menerima remisi. (Radarbontang.com, 22/12/2024)
Remisi menjadi bagian dari upaya penghargaan terhadap warga binaan yang menunjukkan perilaku baik dan aktif mengikuti program pembinaan. Remisi ini juga dianggap menjadi motivasi untuk lebih bersemangat menjalani masa pidananya dengan sikap positif. Padahal kalau dikritisi, remisi bagai pemberian komisi dalam sistem demokrasi yang membuat sistem sanksi tidak menjerakan. Terbukti dari over kapasitas lapas dan kasus resividis berulang melakukan kejahatan.
Sistem Sanksi dalam Demokrasi Lemah
Sistem sanksi saat ini merupakan bagian dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini pula memberi peluang kejahatan makin banyak karena lemah buatan manusia.
Sistem sanksi tidak menjerakan mengakibatkan banyak terjadi kejahatan, bahkan terjadi dalam lapas sekalipun. Maraknya penjahat juga menggambarkan lemahnya kepribadian individu yang terbentuk dari kegagalan sistem pendidikan saat ini.
Dalam negara demokrasi kapitalis memang tindak kejahatan semakin subur. Paham sekulerisme, asas kebebasan dan materialistik membuat sebagian masyarakat jatuh dalam tindak kriminalitas. Sistem kepolisian yang korup dan peradilan ribet kadang berujung kejanggalan, akibatnya kasus berlalu tanpa keadilan. Apalagi kasus korupsi sudah sering kita temui pemberlakuan spesial. Tak heran aturan pun bisa diotak-atik dan lapas hanya sekedar peristirahatan sementara.
Dalam sistem sekuler, pengertian dan standar keadilan ditentukan oleh akal manusia. Mereka menetapkan ketentuan hukum dan sanksi bagi pelakunya berdasarkan kemauan nafsu dan tidak sedikit pesanan. Sistem peradilan juga selain memberikan remisi, ada hak berupa grasi, amnesti, dan abolisi serta rehabilisasi. Jika demikian wajar sistem sanksi tak menjerakan.
Sistem Peradilan dalam Islam
Berbeda dengan sistem sanksi (peradilan) dalam Islam yang dapat memberikan keadilan bagi seluruh umat manusia baik muslim atau non muslim, kaya atau miskin, rakyat atau pejabat termasuk pemimpin negara sekalipun. Dalam Islam, syariah menjadi standar untuk menentukan kejahatan dan sanksinya.
Dengan pijakan hukum syara’ para hakim (Qadhi) akan memberikan putusan hukum yang adil kepada seluruh anggota masyarakat. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara peradilan sipil dan syariah karena semua putusan hukum diberikan dengan menggunakan dasar Syariah Islam.
Sistem peradilan dalam Islam tidak berbelit. Seseorang pun tidak bisa dianggap bersalah sampai terbukti. Terlebih dalam sistem Islam tidak ada seorang pun yang tidak bisa diajukan ke pengadilan termasuk penguasa.
Dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah (Struktur Negara dalam Islam) oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani diterangkan Qadhi Madzalim dari Mahkamah Madzalim akan menyidang kasus-kasus yang melibatkan penguasa atas kekeliruan kebijakan yang diambil. Qadhi Madzalim juga berhak menghukum dan memberhentikan penguasa.
Sistem Islam yang diterapkan oleh negara akan membangun masyarakat dengan dasar akidah Islam dengan inti takwa kepada Allah. Masyarakat akan senantiasa diliputi nuansa ketaatan pada Syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan, baik individu, keluarga, masyarakat, dan bernegara. Masyarakat akan terhindar dari tindak kriminalitas karena sistem peradilan yang bersifat preventif dan kuratif.
Di samping itu, Khilafah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap warganya sehingga dorongan untuk melakukan tindakan kriminal berkurang dengan sendirinya. Hukuman dalam Islam seperti potong tangan bagi pencuri, qishas bagi pembunuhan disengaja, rajam bagi pezina muhshan, jilid bagi pezina ghairu muhsan, dll akan membuat orang berpikir ribuan kali sebelum bertindak. Efek jera sekaligus menjadi pencegah tentu akan membuat tindak kriminal minim.
Demikianlah sistem sanksi dalam Islam, tentunya seperangkat dengan sistem kehidupan lainnya (ekonomi, pendidikan, pergaulan, media, dsbnya). Ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan negara yang diatur Islam akan menjadikan masyarakat terikat syariat jauh dari maksiat.
Wallahu’alam…