Emirza, M.Pd
(Pemerhati Sosial)
Minyak goreng merk Minyakita saat ini sulit didapatkan di pasar-pasar tradisional di Bontang alias langka. Simanjuntak, salah satu pedagang di Pasar Taman Telihan mengatakan, sudah jarang melihat Minyakita. (radarbontang.com, 8/2/2023 )
Minyakita adalah minyak goreng kemasan dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000, sama dengan HET minyak goreng curah. Kementerian Perdagangan meluncurkan Minyakita pada 6 Juli 2022 untuk mengatasi kenaikan harga minyak yang pada saat itu harganya Rp25.000 per liter.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan salah satu penyebab kelangkaan Minyakita adalah realisasi suplai pasokan dalam negeri yang harus dipenuhi perusahaan sebelum melakukan ekspor atau domestic market obligation (DMO) turun sejak November lalu.
Tetapi, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkap hal berbeda. Kata beliau, ada perubahan regulasi yang menyebabkan produsen mengalihkan produksi Minyakita ke minyak curah.
Ahli ekonomi dari lembaga riset Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, beranggapan ketika “minat pihak swasta berkurang” untuk memproduksi Minyakita, negara harus mengambil peran lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Program biodiesel B35, yang membuat penggunaan CPO (bahan baku minyak goreng) meningkat dan disebut-sebut menteri perdagangan membuat produksi Minyakita berkurang, dibantah oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Arilangga Hartarto. Menurut dia, program B35 tidak akan mengganggu pasokan untuk minyak kebutuhan konsumsi.
Akar Masalah
Terlihat jelas bahwa ada banyak problem yang sebenarnya harus diselesaikan juga regulasi yang ditata ulang dalam mengatur produksi dan distribusi produk minyak goreng ini.
Tetapi, hal ini Seolah-olah akan diselesaikan dengan satu jalan, mendistribusikan minyak goreng kemasan dengan mematok harga seperti harga minyak curah. Satu kebijakan yang sudah bisa diprediksi sejak awal akan berujung pada kegagalan. Sekadar mematok harga tanpa menyelesaikan problem utamanya, tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.
Jika dikaji dari sudut pandang ekonomi syariah, Islam mengharamkan pematokan harga secara mutlak. Haramnya pematokan harga bersifat umum untuk semua bentuk barang, tanpa dibedakan antara makanan pokok dengan bukan makanan pokok.
Pematokan harga, adalah tindakan berbahaya karena akan menciptakan pasar gelap sehingga harga malah menjadi naik yang akhirnya menyebabkan kerusakan produksi.
Solusi Islam
Problem yang harus diselesaikan dalam masalah minyak goreng ini dimulai dari pembenahan saat produksi, saat distribusi, juga kepemilikan lahan jutaan hektar, serta tekanan luar negeri.
Solusi kepemilikan lahan, Islam melarang pengambilan lahan milik umum seperti hutan untuk dijadikan milik pribadi. Solusi produksi, Islam melarang praktek monopoli, oligopoli, dan lainnya. Solusi distribusi, Islam melarang praktek penimbunan barang di gudang untuk meningkatkan harga pasar.
Solusi tekanan luar negeri, Islam tidak mengikuti regulasi internasional yang berdampak buruk untuk masyarakat luas, seperti regulasi yang menjadikan bahan pangan sebagai sumber energi.
Islam memerintahkan negara agar bertanggung jawab terhadap stabilisasi pasar. Memastikan supply dan demand bertemu di titik equilibrium, secara rida (saling rela), bukan terpaksa karena tidak ada pilihan lain.
Mau tidak mau, harus beli, berapa pun harganya karena kebutuhan, adalah potret situasi pasar dalam sistem kapitalisme sekuler.
Maka, kondisi ideal tersebut hanya bisa diwujudkan oleh sistem Islam, sebuah sistem bermasyarakat dan bernegara yang menggunakan syariat Islam kaffah. Berbagai regulasi Islam mulai produksi sampai distribusi diberlakukan dalam perundang-undangan negara dalam Islam.
Pelanggaran akan ditindak tegas oleh qodhi hisbah, sistem peradilan yang tersebar di berbagai pasar. Dengan mekanisme hukum yang sempurna, maka stabilisasi harga dengan stok barang yang cukup selalu tersedia di pasar-pasar negara Islam.
Salah satunya, bisa dilihat dari potongan kisah di masa Khalifah Umar bin Khathab ra. ketika terjadi masa paceklik di Hijaz, harga makanan naik karena langkanya makanan.
Tetapi, Khalifah Umar sebagai kepala negara tidak mematok harga tertentu. Khalifah Umar mengirim dan menyuplai makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz, sehingga berakhirlah krisis tersebut tanpa mematok harganya.
Wallahualam