spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Remisi dan Resividis Berulang: Sistem Sanksi Terbukti Lemah

Oleh:
Emirza Erbayanthi, M.Pd
(Pemerhati Sosial)

Kepala Lapas Kelas IIA Bontang, Suranto, melalui Kasubsi Registrasi, Dwi Satrio Kuncoro mengatakan, sebanyak 113 narapidana di Lapas Kelas IIA Bontang menerima remisi khusus Hari Raya Natal. (radarbontang.com, 23/12/2024)

Seorang residivis perempuan berinisial IS (43) asal Desa Bukti Makmur, Kecamatan Kaliorang dibekuk Polres Kutai Timur (Kutim). Ia harus kembali menginap di hotel prodeo karena kasus sabu-sabu. Dari tangan IS terdapat 3.130 gram sabu-sabu dengan nilai sekisar Rp 4 miliar. IS keluar dari lapas tahun 2021 dengan ancaman kurungan 7 tahun dan kembali melakukan aksinya baru-baru ini. (radarkutim.com, 23/12/2024)

Penjara Overkapasitas

Menurut data Institute for Crime and Policy Justice Research, pada 2021 Thailand, Indonesia, dan Filipina termasuk 10 negara teratas dengan populasi penjara terbesar di dunia. Per Maret 2023, lapas di Indonesia overcrowded atau melebihi kapasitas hingga 89%.

Kapasitas hunian lapas di Indonesia hanya untuk 140.424 orang, tetapi penghuninya mencapai 265.346 orang. Dari data Ditjen PAS Kemenkumham (2021), kepadatan terjadi tidak merata pada setiap penjara. Dari 526 penjara dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia, 399 di antaranya mengalami overkapasitas.

Menurut data Institute for Crime and Policy Justice Research, jumlah orang yang dipenjara di Indonesia pada tahun 2020 meningkat hampir lima kali lipat dibandingkan pada tahun 2000, terjadi peningkatan hampir 10.000 orang per tahunnya. Maka butuh tambahan kapasitas penjara untuk 10.000 orang per tahun, setara dengan 34.000 meter persegi ruang tidur baru.

Dana yang dibutuhkan untuk menambah bangunan adalah Rp3,5-5 triliun. Penambahan kapasitas penjara tentu akan diikuti penambahan anggaran untuk pengawasan, SDM dan peralatan yang diperlukan. Begitu juga dengan anggaran untuk konsumsi, program pembinaan, dan pemeliharaan aset juga akan meningkat.

Baca Juga:  Harga Beras Merangkak Naik Jelang Ramadan, Butuh Solusi Tuntas

Untuk kebutuhan makan narapidana saja anggarannya mencapai Rp2 triliun per tahun. Pantas saja dianggap memberatkan keuangan negara. Besarnya angka overkapasitas penjara dan anggaran pemeliharaannya menunjukan bahwa angka kejahatan di negeri ini sangat tinggi.

Sanksi Lemah

Fakta bahwa tidak sedikit narapidana berkali-kali masuk penjara. Artinya, masuk penjara bukan aib lagi. Remisi dan resividis berulang menunjukkan bahwa sanksi yang diberlakukan oleh sistem hukum saat ini tidak mampu membuat warga jera untuk berbuat jahat dan membuktikan sistem ini lemah.

Sistem sanksi yang berlaku ternyata tidak mampu membina warga binaan secara efektif. Akibatnya, besaran anggaran pemeliharaan narapidana dan lapas menjadi keluhan. Ini menunjukkan bahwa remisi dan revidis bukanlah solusi tuntas.

Harusnya negara memiliki sistem sanksi yang tegas sehingga menjerakan pelaku dan mampu mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Apa jaminannya narapidana yang sudah diberi remisi tidak berbuat jahat lagi setelah keluar dari penjara sehingga revidis tidak terjadi?

Solusi dari polemik obral remisi ini harus sistemis. Maraknya penjahat menggambarkan lemahnya kepribadian individu yaitu dari lemahnya ketakwaan dan kegagalan sistem pendidikan. Selain itu, lemahnya sistem sanksi dan hukum memperburuk kondisi.

Sistem pendidikan saat ini terkapitalisasi dan terkomersialisasi. Ditambah dengan aturan hidup sekuler, materialistis, hedonis, permisif, dan konsumtif menyebabkan individu jadi serba bebas berperilaku. Angka putus sekolah dan pekerja anak marak karena tuntutan ekonomi.

Sistem sanksi dan hukum tidak kalah karut-marut. Hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas menunjukkan bahwa hukum hanya memihak yang kuat, baik itu kuat secara ekonomi, jabatan, maupun jaringan orang dalam. Fenomena ini menunjukan hukum mudah diperjualbelikan.

Bagi pihak yang lemah, malah sangat rawan menjadi korban kecurangan hukum, padahal mereka melakukan kejahatan terkadang karena faktor terpaksa. Ketika ada yang menjadi residivis, mereka malah makin lihai dalam berbuat kejahatan, walaupun sudah berulang kali keluar masuk penjara.

Baca Juga:  Bontang dalam Jerat Narkoba: Pelajar Jualan Sabu

Ini seolah-olah menunjukkan bahwa di dalam penjara mereka “belajar” untuk berbuat makin jahat. Pemerintah tidak berpikir pentingnya suasana hidup yang kondusif sehingga bisa mencegah terjadinya tindak kejahatan.

Sistem Sanksi dalam Islam

Berbeda kondisinya dengan sistem Islam. Islam memiliki mekanisme untuk mencegah dan memberantas tindak kejahatan sehingga tingkat kejahatan minim. Penerapan syariat Islam menjadi kunci dalam melindungi masyarakat dari kejahatan.

Ada tiga pilar penegakan hukum agar terwujud dengan sempurna, yaitu ketakwaan individu sehingga tercegah dari perilaku kejahatan, amar makruf nahi mungkar oleh masyarakat sehingga setiap ada kejahatan akan cepat terdeteksi dan pelakunya diingatkan untuk tobat, serta pemberlakuan sistem sanksi yang adil dan tegas oleh negara.

Dari sisi pencegahan, selain aspek ketakwaan individu, negara menjamin kesejahteraan rakyat secara orang per orang dengan jaminan langsung atau tidak langsung. Jaminan langsung maksudnya negara menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya.

Sedangkan jaminan tidak langsung maksudnya negara menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya sehingga setiap lelaki dewasa bisa bekerja dan memperoleh penghasilan untuk menafkahi keluarganya.
Negara juga mengurusi fakir miskin. Mereka mendapatkan santunan untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Mereka juga diberi pekerjaan, baik berupa modal (tanah, uang, alat, keterampilan, dll.) maupun lowongan pekerjaan yang bisa mempekerjakannya. Maka, jaminan negara secara ekonomi akan mengurangi faktor risiko terjadinya kejahatan.

Negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak individu yang beriman dan bertakwa sehingga jauh dari kemaksiatan. Hal ini menjadi kekuatan internal bagi individu untuk melawan hawa nafsu dalam dirinya sehingga tidak tergoda untuk melakukan kejahatan.

Baca Juga:  Naiknya Biaya Haji Karena Kapitalisasi Ibadah

Pada aspek penanganan kejahatan, Islam memiliki sistem sanksi yang khas, tegas, dan menjerakan. Setiap kejahatan akan diberi sanksi yang tegas. Penjara tidak menjadi satu-satunya jenis hukuman. Kalaupun hukumannya penjara, tidak ada pengurangan hukuman dari masa yang sudah hakim putuskan.

Islam memandang uqubat (sanksi hukum) sebagai zawajir (pencegah/preventif) dan jawabir (kuratif). Disebut pencegah karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah. Sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama.

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan dalam hukuman kisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 179).

Sedangkan dengan Jawabir (kuratif) adalah agar orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Maka, akan terjadi penyesalan atau tobat nasuhah. Penerapan sanksi di dunia ini bisa mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat.

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhah (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia, sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS At-Tahrim [66]: 8).

Demikianlah, Islam mampu memberikan solusi sistemis bagi permasalahan kehidupan manusia. Remisi hanyalah solusi pragmatis sistem sekuler yang tidak mampu menyentuh akar permasalahan kasus kejahatan.

Wallahualam bissawab.

Most Popular