spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Perempuan Pendorong Suara Pemilu, Asumsi atau Realitas?

Oleh:

Dinnar Fitriani Susanti

(Aktivis Muslimah Balikpapan)

Di pemilu tahun 2022 lalu, hanya 70 persen masyarakat di Kaltim yang pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari 100 persen yang terdaftar memiliki hak pilih.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Bontang, Sigit AlfianĀ  mengatakan, sosialisasi ini penting, karena diharapkan pada tahun 2024 mendatang 100 persen warga Kaltim yang memiliki hak pilih bisa menggunakan suaranya.

Di Kota Bontang sendiri terdapat 131.595 pemilih, pemilih laki-laki sebanyak 68.135 dan pemilih perempuan sebanyak 63.459.

ā€œKami pinginnya masyarakat Kaltim bisa pergi ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya,ā€ ungkapnya di Sosialisasi Peningkatan Partisipasi Pemilih Organisasi Wanita Bontang Pada Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024, Senin (18/9/23).

Alasan Kesbangpol memilih organisasi wanita Bontang sebagai peserta, karena perempuan dinilai memiliki kekuatan untuk mengajak dan menyebarkan informasi kepada keluarga dan sekitarnya.

Asumsi Demokrasi untuk Perempuan

Berbagai upaya untuk menyukseskan pesta demokrasi. Termasuk salah satunya adalah dengan mendorong partisipasi perempuan dalam peningkatan pemilih. Karena perempuan dianggap bisa mengajak orang di sekitarnya seperti anaknya, suaminya dan tetangganya.

Mengapa berbagai hal ini dilakukan, bukan karena posisi perempuannya. Namun pemerintah tidak ingin pesta demokrasi ini tidak semeriah pesta demokrasi sebelumnya. Masyarakat tidak banyak hadir ke TPS dengan berbagai alasan.

Baca Juga:  Masalah Mudik Butuh Penanganan Komprehensif

Di sisi yang lain, pemerintah tidak ingin anggaran yang telah dikeluarkan sebesar Rp 86,2 Triliun tidak disukseskan oleh para pemilih. Anggaran ini luar biasa besar, jika dibandingkan dengan pesta demokrasi tahun 2019, anggaran kali ini 3 kali lebih besar dari tahun 2019.

Sehingga wajar jika berbagai cara pun akan di tempuh. Namun perlu diketahui bahwa hal ini adalah semakin memperpanjang seremonial demokrasi. Masyarakat dibuat lupa persoalan utama mereka.

Pesta demokrasi hanya memilih pemimpin yang berganti – ganti. Euforia kemenangan ini tidak dirasakan secara mendasar oleh rakyat secara bahagia. Namun hanya di rasakan oleh partai pengusung pemenang pemimpin dan oligarki di belakangnya.

Berbagai persoalan akan tetap berjalan, bahkan semakin bertambah jika demokrasi masih menjadi jalan untuk mengatur masyarakat.

Inilah asumsi pesta demokrasi, yang menonjol yaitu rakyat termasuk perempuan dibutuhkan suara mereka saat euforia demokrasi. Namun setelah euforia selesai, maka selesailah suara mereka. Demokrasi menjunjung konsep kekuasaan melalui eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga wajar jika dikatakan bahwa suara rakyat adalah asumsi euforia.

Realitas, Perempuan Sejahtera dalam Aktivitas Politik Islam

Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah dan diutusnya Rasulullah sebagai penyampai risalah di muka bumi. Dan Islam adalah agama yang terdiri dari akidah dan syariah, merupakan sebuah sistem yang menyeluruh.

Baca Juga:  Ibu dan Keluarga Terjamin dengan Islam

Dalam kesempurnaan syariah inilah Islam telah memposisikan baik laki-laki dan perempuan memiliki tujuan di muka bumi untuk melaksanakan seluruh aturan Islam.

Dalam Syariah pengaturan pelaksanaan ada yang terdiri dari hubungan manusia kepada Allah, hubungan manusia kepada dirinya sendiri dan hubungan manusia dengan sesama manusia.

Dalam konteks hubungan manusia dengan manusia inilah cakupan begitu luas, semisal muamalah, ekonomi, sosial, memimpin, dan di pimpin negara.

Begitu sempurnanya Islam sebagai sebuah aturan hidup, maka akan memberikan pengaruh kebaikan di muka bumi.

Hal ini telah terbukti sejak Rasulullah diutus sampai pada masa Daulah Utsmaniyah, hal ini berjalan kurang lebih sekitar 1300 tahun dan hampir merata di belahan bumi.

Islam sebagai syariah yang begitu sempurna ini pun telah mengatur kehidupan melalui hukum – hukumnya seperti wajib, Sunnah, mubah, makruh dan haram.

Dalam pelaksanaan aturan sesama manusia tidak terlepas dari aktivitas politik, yang di sebut dengan riayah suunil ummah (mengurusi urusan ummat). Aktivitas ini seperti muhasabah, memberikan masukan, menasehati serta komplain atas pelaksanaan kebijakan. Kebijakan ini yang dimaksud adalah syariah Islam itu sendiri. Aktivitas politik ini tidak di batasi waktu dan tempat. Ketika ada hal yang tidak sesuai dengan pelaksanaan syariah, maka wajib bagi umat untuk mengingatkan. Hal ini sebagai wujud tanggung jawab di hadapan Allah dan juga sebagai wujud menghormati pemimpin agar selamat dunia dan akhirat.

Baca Juga:  Nikah Dini Menurun, Gaul Bebas Meningkat

Dan aktivitas politik ini pun tentu saja melekat pada laki-laki juga perempuan sebagai umat atau warga negara. Sebagai mana pernah terjadi pada masa Umar sebagai Khalifah. Pada masa kepemimpinannya Umar pernah menetapkan mahar. Namun Al Khansa mengingatkan Umar agar jangan menetapkan mahar yang merupakan hak untuk perempuan. Disinilah Al Khansa sebagai wakil dari perempuan untuk menyampaikan komplain atas kebijakan pemimpin pada masa itu.

Di kisah yang lain pula, pada saat proses baiat aqabah, ada dua orang perwakilan perempuan dari tujuh puluh orang laki-laki, salah satunya adalah Nusaibah. Proses baiat ini adalah proses perwakilan dari para perempuan untuk memberikan loyalitasnya untuk bersedia di atur dengan Syariah Islam sebelum Rasulullah menjadi kepala Negara di Madinah.

Dan masih banyak lagi kisah yang menceritakan bagaimana aktivitas politik yang dilakukan oleh perempuan selama peradaban Islam. Sejatinya Islam telah mendengarkan dan memberikan kesejahteraan kepada perempuan secara realitas dan nyata. Hal itu terjadi karena Islam adalah agama yang di turunkan untuk manusia, baik untuk laki-laki dan perempuan.

Dan aktivitas politik ini merupakan bagian dari ibadah. Ketika dilaksanakan akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Karena bagian dari pelaksanaan aturan Syariah. (*)

Most Popular