Cerpen : Muthi’ Masfu’ah
Let’s move on! Gaes…
Uuufffhhhhh… Aku tiup wajahnya kuat-kuat. Lemah banget sih.
“Sekuat apapun kamu menginginkannya, bila yang tertulis di laumul mahfudz tetaplah pemenangnya. Jika kamu bukan pemenangnya, yaa udah… lupakan!”
“Gak semudah itu Man, karena kamu gak mengalaminya,” Fadli masih bersuara lirih, tangannya baru saja meremas sebuah undangan… Undangan pernikahan ! Yang kini telah mendarat di dalam tong sampah.
Aku terdiam, tak bergerak. Setelah aku melayang ke sana-kemari mengantarkan dingin AC ruangan yang tampak menghangat bahkan memanas saat ini. Aku mencoba memahami perasaan terdalam Fadli. Tentang cinta yang tak tersampaikan. Tentang cinta yang harus ia tinggalkan.
Ketika garis takdir tidak merestui. Padahal sudah merasa cocok dan tahu karakter masing-masing, berdiskusi apapun juga sudah nyambung. Hanya tinggal menunggu waktu akan menyampaikan untuk datang melamar. Namun, hari ini justru datang memberi selembar undangan untuk pernikahannya dengan orang lain. Bagaimana Fadli tidak down.
“Gimana sih kamu, Arman. Aku sudah sedih sekali ditinggal nikah masih saja ngajakin datang ke nikahan dia? Gimana rasanya datang ke acara pernikahan sahabat yang sangat aku sayang? It’s okey. Ikhlaskan. Asal sahabat bahagia, aku juga bahagia. Itu katamu. Bukan kataku!” Suara Fadli mulai meninggi, tapi bergetar. Menahan sedih.
Arman terdiam, berusaha memahami perasaan Fadli.
Aku meniup lembut wajah Fadli, iba terasa. Tapi aku tak mampu berbuat apa. Aku hanyalah angin kecil yang bisa meniup lembut kesana-kemari. Menyejukkan suasana, walau wujudku tak terlihat dan kecil.
“Emang kamu sudah mengutarakan cinta dan mau melamar?” tanya Arman penasaran.
Fadli diam menghela nafas. ”Ya belum… baru akan.”
“Nah, itu masalahnya, jangan salahkan dia donk. Jangan salahkan dia, karena aku yakin yang naksir dia, bukan kamu saja Fadli. Harusnya kamu segera menyampaikan, segera ke rumah orangtuanya. Begitu baru jantan. Jangan ditunda.” Arman panjang lebar berbicara mengajak Fadli berpikir.
Fadli diam saja. Mungkin ia juga merasa, ia juga yang keliru.
“Apa yang kamu alami ini belum seberapa Fadli, Perihal kehilangan sebelum pernikahan. Ditinggalkan dia ketika berjuang pada komitmen. Prosesi lamaran sudah dilakukan, bulan pelaksanaan pernikahan juga sudah dipilih, biaya pernikahan telah disiapkan. Hanya tinggal menunggu kesepakatan hari di mana calon pengantin akan melangsungkan akad nikah. Namun, sekuat apapun hati diikat, jika catatan langit tidak mempertemukan untuk berjodoh, maka tidak akan pernah bersatu.” Arman menasehati dan menguatkan Fadli.
Aku terbang ke seluruh ruangan, mencoba mendinginkan suasana.
Walau aku hanya angin kecil yang bertiup, aku tahu bahwa pernikahan Tanti, perempuan pujaan Fadli, dengan pria pilihan kedua orangtuanya, karena memang Tanti menyetujuinya. Tanti memang lebih memilih menikah dengan lelaki yang mencintainya. Tanti sendiri tidak pernah tahu, kalau Fadli menaruh hati padanya. Karena hingga saat ini pesan itu belum pernah tersampaikan olehnya.
“Aku tak pernah menyangka, begitu cepatnya terjadi, Man. Ia hilang begitu saja tanpa kabar. Wa serta telepon tidak pernah dibalas dan terangkat. Aku jadi bingung serta cemas kala itu, jangan- jangan ada hal tidak baik menimpa dirinya. Aku sudah mencoba menghubungi teman satu kantornya, tapi tetap tidak ada jawaban memuaskan. Kejadian itu begitu cepatnya, hingga aku mendapatkan undangan itu…” Fadli masih bersuara, kali ini nyaris tak terdengar. Memelas sekali.
Aku terus mendengar percakapan pilu itu. Aku terbang ke seluruh ruangan. Mencoba mendinginkan suasana.
Arman sahabat sejati Fadli itu menghela nafas. Mereka masih duduk menghadap TV yang masih memberitakan kedahsyatan virus Corona yang belum juga usai. Tapi berita itu bukan fokus pembicaraan mereka, nampaknya lebih dahsyat dari itu. Tapi virus cinta yang bisa mengubah nalar manusia, tak sesuai logika!
“Percayalah Fadli, sesungguhnya, Allah yang membolak-balikkan hati. Jangan bersedih dan belajar lapang. Banyak masih perempuan diluar sana…”
Belum selesai Arman berbicara, Fadli memutusnya, “Aku mau menikah dengan dia bukan karena urusan wajah dan fisik semata!”
Arman terbelalang, Fadli agak keras bercakap dan aku terkekeh… Uuufffhhh aku tiup lagi wajah Fadli,agar ia sedikit sejuk dan bersabar. Urusan cinta kenapa juga dibuat rumit. Akh, manusia. Aku terus bergumam.
“Ayolah, bangkit dan menata hari. Relakan dia yang telah pergi dan meninggalkan duri di hatimu. Dia gak salah, Kamu juga gak salah. Karena takdir adalah mutlak. Belajarlah untuk tak menuntut, ikhlaskan. Sekuat apapun kamu memeluknya, dia bukan hakmu. Jika kamu menyayanginya biarkan ia memilih syurganya, cukup jaga dia dalam setiap doamu.
Jadilah kamu seperti bumi dan matahari. Jangan terlalu dekat, nanti berbahaya. Jangan terlalu mengenal nanti akan menyesal, cukup bersahabat yang tak berlebihan. Jika memang terpikat, tunggulah dengan sabar izin Allah. Seperti layaknya bumi dan matahari, menjauh untuk menjaga…” Arman terus menguatkan Fadli, teman sejak SMA, kuliah dan hingga saat ini.
Siang itu terasa teriknya. Aku masih sekuat tenaga mendinginkan suasana. Hingga semua berlalu di hari itu.
**
Aku masih terbang kesana-kemari, mendingin ruangan tempat Fadli asyik membaca sebuah kalimat bijak di IG-nya.
Aku kembali menemukan prosesku.
Kehadiran yang setelah tanpa kamu.
Dengan terpaksa aku harus tata lagi hari hari setelah kepergianmu.
Andai kamu tahu bahwa kemarin aku sangat ingin mencintai kamu dengan cara terhebatku.
Tapi sayang campur tangan semesta ternyata belum cukup untuk menguatkan kamu agar tetap disini.
Membiarkan aku kalah.
Dan aku benar-benar kalah dalam pertempuran ini.
Saat ini aku yakin siapapun dia yang berhasil bersamamu.
Adalah dia yang berhasil meluluhkan hatimu.
Adalah dia yang merupakan takdir terindah oleh-Nya.
Kini.. Aku mohon.
Jangan pernah goyahkan aku lagi.
Sebab melihatmu di setiap hariku saja.
Masih terlalu sulit dan menyesakkan.
Tapi jika nanti aku benar-benar terbiasa tanpamu.
(Belum selesai Fadli membacanya…)
“Fadli, ayooo sudah matikan HP-mu. Gak layak laki-laki cengeng. Ayo kita jalan,” teriak Arman dari atas motornya, masih bising suara mesinnya tak dimatikan… mengajakku pergi berkeliling kota malam ini.
Sementara langit masih bertabur bintang di atas sana… Akh, biar rindu menggores langit. Berjuga goresan rindu terlukis di sana. Rindu yang belum menemukan muaranya.
Yap, memaafkan memang harus, tetapi ‘balas dendam’ tetap dilaksanakan. Balas dendam dengan bermutasi dengan cara keren, untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita tidak tahu harus memulainya dari mana, mulailah dari niat dan menghargai diri sendiri. Mulailah berprestasi dalam bidang yang kita jalani. Apapun cara dan bentuknya.
Tetaplah bahagia, setidaknya belajarlah dari virus Corona yang terus bermutasi menjadi lebih kuat ketika mendapat perlawanan dahsyat dari manusia.
Fadli tersenyum dan berlalu bersama Arman, sahabat suka dan dukanya. Aku tersenyum melihatnya. Dunia bahagia melihatnya… Let’s move on! (*)