Oleh:
Lisa Agustin
Pengamat Kebijakan Publik
Anak adalah permata orang tua dalam keluarga. Seorang ayah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi anaknya. Namun, kenyataan ternyata tidak sejalan. Seorang ayah yang notabene merupakan orang terdekat, ternyata tega melakukan kejahatan terhadap buah hatinya. Apakah ini normal?
Sungguh malang seorang bayi di Kota Bontang. Usianya baru saja 2 bulan mengalami patah tulang paha kiri, cedera lutut dan pembengkakan kepala akibat penganiayaan oleh ayah kandungnya sendiri.
Berdasarkan hasil penyelidikan Polres Kota Bontang, penyebab sang ayah melakukan penganiayaan disebabkan oleh rasa sakit hati terhadap istri dan keluarga istrinya. (radarbontang.com, 31/7/2024)
Ternyata kasus kekerasan anak di Kota Bontang tahun 2024 ini meningkat. Diketahui berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Bontang, tercatat hingga Mei 2024 kekerasan pada anak dengan kekerasan fisik berada pada urutan pertama, sebanyak 16 kasus setelah kekerasan seksual sebanyak 13 kasus. Kemudian kekerasan psikis 6 kasus, kekerasan hak nafkah anak 2 kasus, bulying 2 kasus, Anak Berhadapan dengn Hukum (ABH) 2 kasus dan seksual (pornografi) 2 kasus. (radarbontang.com, 11/7/2024)
Anggota Komisi I DPRD Kota Bontang, Abdul Haris menanggapi maraknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak, yang terjadi pada semester pertama tahun 2024.
Ia mengatakan, bahwa pemerintah harus memiliki ketegasan dari sisi regulasi seperti sanksi bagi para pelaku, kemudian dari sisi pengawasan orang tua juga harus ditingkatkan. (radarbontang.com, 30/7/2024)
Kekerasan Anak Buah Sistem Rusak
Pemerintah memang harus memiliki regulasi dan sanksi yang tegas untuk pencegahan kekerasan terhadap anak. Sayangnya selama sistem kehidupannya masih sekuler kapitalistik, kekerasan terhadap anak akan terus terjadi.
Sebab pangkal persoalan kekerasan anak adalah akibat semakin jauhnya pemahaman agama dan aturan Islam di tengah-tengah kehidupan.
Sistem kehidupan sekular kapitalistik telah melahirkan budaya liberalisme dan individualisme. Liberalisme artinya kebebasan bertingkah laku dijamin, baik itu menurut akal atau hawa nafsu. Individualisme artinya orang lain tidak boleh ikut campur urusan pribadi orang lain.
Akibatnya, tindakan melakukan kekerasan terhadap anak sebagai pelampiasan dianggap wajar (liberalisme). Bahkan sikap tetangga yang mengetahui fakta tentang kekerasan anak, cenderung memilih diam atau tidak peduli karena merasa bukan urusannya (individualisme).
Peran negara juga sebatas regulasi yang bersifat pragmatis. Solusi yang ditawarkan tidak solutif, ditambah sistem hukum yang tidak menjerakan membuat negara gagal melindungi anak dari kekerasan.
Butuh Islam Sebagai Solusi
Islam sebagai way of life, memiliki konsep yang benar dalam mewujudkan perlindungan anak dari kekerasan. Semua pandangan Islam berasal dari Al-Qur’an dan Sunah.
Seorang muslim didorong menjadikan dua sumber hukum Islam itu sebagai panutan, agar terwujud ketaatan kepada seruan Allah. Ia tak boleh mengikuti pandangan lain seperti sekuler kapitalistik, liberalisme maupun individualisme.
Dengan diterapkannya Islam, maka tindak kekerasan akan mampu diminimalisir. Berikut ini beberapa pandangan Islam mengenai kasus kekerasan anak. Pertama, Islam memandang keluarga sebagai tempat mendidik dan melindungi anggotanya, termasuk anak. Anak-anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Ibu berperan menjadi pendidikan awal bagi anak-anak. Sedangkan ayah berperan sebagai pemimpin keluarga.
Kedua, Islam memiliki sistem sosial dalam membina rumah tangga. Seorang istri wajib taat kepada suaminya selama tidak melanggar aturan Allah. Dan seorang Istri juga wajib melayani suami dengan pelayanan yang baik, maka terpenuhilah nalurinya. Hal ini meminimalkan terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Islam juga memberikan kewajiban bagi suami sekaligus ayah untuk memenuhi nafkah dan melindungi keluarganya. Islam melarang segala bentuk tindakan penganiayaan terhadap manusia, apalagi keluarganya sendiri.
Ketiga, Islam mendorong masyarakat untuk menghidupkan budaya amar makruf nahi mungkar (dakwah). Dalam pandangan Islam sifat individualisme adalah sifat yang dilarang. Karena akan menyebabkan kemaksiatan merajalela di masyarakat.
Keempat, Islam memiliki sanksi yang tegas bagi pelaku tindakan kekerasan. Bagi pelaku penganiayaan, Islam memiliki sistem sanksi sesuai tingkat kriminalitas yang dilakukan. Ini akan kembali pada pendapat hakim sesuai standar hukum syariat yang berlaku.
Syekh Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya Nidzam Al-Uqubat, menjelaskan bahwa batasan tindakan atau perbuatan kriminal adalah perbuatan tercela (qabih). Perbuatan tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariat.
Adapun penganiayaan, bisa terkategori jinayat jika pelaku melakukan hal yang membahayakan organ tubuh, baik itu tulang, kepala atau yang lain. Sanksinya sesuai diyat yang ditetapkan syariat.
Bisa juga terkategori takzir jika pelaku melakukan kriminalitas yang terkategori melanggar hak seorang hamba. Bahkan, bisa terkategori kisas jika sampai menghilangkan nyawa.
Pelaksanaan sanksi terhadap pelaku wajib dilakukan oleh Negara. Negara pula yang berperan dalam menciptakan iklim yang kondusif agar penganiayaan terhadap anak —baik dilakukan oleh orang tua sendiri, maupun dari lingkungan sosial— tidak terjadi.
Walhasil, melindungi anak dari kekerasan membutuhkan sistem yang baik. Sistem yang baik berasal dari Zat yang Maha Baik. Itulah sistem Islam. Di dalamnya negara berperan menciptakan atmosfer kondusif bagi terwujudnya keamanan bagi anak, masyarakat bahu-membahu merealisasikan apa yang menjadi visi negara bagi generasi, sedangkan para individu masyarakat menjalankan perannya masing-masing sesuai standar syariat. Kondisi ideal ini akan memastikan terwujudnya tatanan keluarga ideal sebagai institusi pencetak generasi masa depan.
Wallahualam bissawab.