Oleh:
Mira Ummu Tegar
Aktivis Muslimah
Melalui laman Instagram Bontang_ku, Wali Kota Bontang, Basri Rase berencana melakukan pengadaan mobil listrik besar-besaran di kota Bontang. Disebut besar-besaran sebab kebijakan tersebut, kata Basri tidak akan diterapkan di lingkungan Pemkot Bontang saja. Melainkan wajib diterapkan oleh semua perusahaan besar di Bontang. Misalnya PT. Pupuk Kaltim, Badak NGL, dan PT KPI.
Masih di laman yang sama. Postingan tersebut kemudian ramai dikomentari oleh para netizen yang tidak lain mayoritas warga Bontang. Hampir rata-rata mempertanyakan keurgensitasan rencana ini, mengingat masih banyak permasalahan yang lebih penting dibanding sekedar pemenuhan teknologi listrik berbasis baterai tersebut.
Dari semua komentar di laman tersebut, mengerucut pada mayoritas permasalahan di kota Bontang, yakni jalan rusak, banjir, minimnya tempat sampah serta ekonomi yang semakin sulit. Jelas ini adalah aspirasi warga Bontang dimana permasalahan tersebut hal yang seharusnya diprioritaskan terlebih dahulu.
Industri otomotif Indonesia memang sedang menjalani peralihan kendaraan bermesin pembakaran internal menuju teknologi elektrifikasi atau yang jamak dikenal sebagai mobil listrik. Hal ini ditegaskan melalui diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk transportasi jalan, yang ditetapkan pada tanggal 8 Agustus 2019. Kemudian Perpres ini diundangkan pada 12 Agustus 2019 lalu dan berlaku saat itu juga.
Pertimbangan utama lahirnya Perpres ini ialah untuk meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, konversasi energi sektor transportasi dan terwujudnya udara bersih. Juga bentuk komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Keseriusan Pemerintah pada program ini, dibuktikan dengan penggelontoran subsidi yang mencapai angka triliunan rupiah, berdasarkan Kementerian Perindustrian, besaran subsidi mobil listrik pada 2023 sebesar Rp 1,6 triliun dan akan meningkatkan menjadi Rp 4,9 triliun pada 2024. Ini belum subsidi kendaraan bermotor (roda dua) listrik dan juga bus listrik.
Hal ini menurut keterangan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rahmat Kaimuddin, menyebutkan bahwa pemberian insentif pajak kendaraan listrik merupakan bagian dari upaya pemerintah menekan emisi karbon dengan target nol emisi karbon (net zero emission/NZE) pada 2060. Karena salah satu keunggulan kendaraan listrik adalah ramah lingkungan.
Hal ini jugalah yang mendasari wacana bagi Pemkot Bontang dalam hal ini Wali Kota Basri Rase untuk mengadakan mobil listrik secara besar-besaran di kota Bontang. Namun sayangnya pengadaan ini tidak di dukung dengan infrastruktur pendukung mobil listrik itu sendiri terutama infrastruktur jalan yang mulus dan tempat pengecasan umum.
Disamping urgensitasnya yang memang belumlah tepat, mengingat permasalahan pemenuhan kebutuhan pokok baik individu maupun kelompok masyarakat kota Bontang masih terkategori rendah.
Tentunya arah pandang dan fokus Pemerintah harusnya lebih kepada penuntasan permasalahan yang ada. Seperti peningkatan ekonomi masyarakat agar lebih kuat dan mandiri, perbaikan infrastruktur jalan, menyediakan tempat sampah yang lebih banyak lagi serta pencegahan terjadinya banjir yang menjadi persoalan urgen bagi kota Bontang.
Bukannya menolak atau tidak mendukung kemajuan teknologi transportasi untuk kemajuan peradaban bangsa, tetapi prioritas dan urgensitas rakyatlah yang seharusnya lebih utama. Sayangnya sistem Kapitalisme liberal yang diadopsi negeri ini dalam menjalankan pemerintahannya justru sebaliknya.
Di tengah carut marut persoalan negeri yang tak kunjung usai terlihat jelas bahwa program mobil listrik ini sangatlah dipaksakan. Hal ini tentu tak lepas dari kepentingan para korporat oligarki dalam memenuhi ambisinya. Sistem ini merupakan habitat bagi para korporat oligarki di mana landasan dari sistem ini adalah meraih materi/keuntungan semata. Maka terakomodirnya kepentingan mereka adalah hal yang pasti. Apalagi negara dalam sistem ini hanya menempatkan dirinya sebagai regulator bahkan tak jarang menjadi fasilitator para korporat oligarki.
Dari sini dapat dipastikan bahwa sistem ini mustahil mewujudkan prioritas dan urgensitas kemaslahatan rakyatnya. Namun berbeda halnya dalam Islam, sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah justru hadir untuk menjadi pengurus, pelayan dan pelindung bagi rakyatnya.
Kemaslahatan rakyatlah yang utama, karena sejatinya sistem pemerintahan dalam Islam landasannya adalah riayah su’unil ummah/mengurusi urusan rakyatnya, dan Khalifah sebagai pemimpin kaum muslim bertanggung jawab penuh atas kepemimpinannya, sebagaimana hadits Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya,” (HR. al-Bukhari)
Tengoklah teladan Khulafaur Rasyidin yakni Khalifah Umar bin Khattab, di kisahkan dalam sebuah riwayat yang ditulis dalam buku “Sang Legenda Umar bin Khattab” karya Yahya bin Yaziid a-Hakim al-Faifi disebutkan, ketika rakyat sedang dilanda kelaparan, Umar bin Khattab selaku Khalifah naik mimbar dengan perut yang keroncongan. Sambil menahan lapar yang tidak kepalang, Umar bin Khattab berpidato dihadapan orang-orang. Dia mengatakan kepada perutnya, “Hai perut, walau engkau terus meronta-ronta keroncongan, saya tidak akan menyumpalmu dengan daging dan mentega sampai umat Muhammad merasa kenyang.
Kisah lain yang juga tak kalah masyur, ketika Umar tergopoh-gopoh berlari sambil menangis menuju Baitul mal untuk mengambil sekarung gandum sesaat setelah mendapati seorang ibu memasak batu demi menenangkan anaknya yang kelaparan. Kisah ini menggambarkan betapa sedih dan risaunya hati Umar saat mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan sampai-sampai dia tidak meninggalkan ibu dan anak tersebut hingga dipastikan mereka tidak lapar lagi.
Demikianlah teladan pemimpin dalam pemerintahan Islam, kemaslahatan rakyatnya lah yang utama, sungguh keteladanan ini akan nyata ketika Islam menjadi landasan dalam kepengurusan bernegara tentunya dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishowab.