Oleh:
Djumriah Lina Johan
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Kasus Tuberkulosis (TBC) anak di Kota Bontang meningkat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Bontang menyebutkan di 2021 ada 81 kasus, 2022 meningkat menjadi 237 kasus. Kepala Bidang Pencegahan Penanggulanan Penyakit Menular Dinkes Bontang, Muhammad Ramzi mengungkapkan bahwa di awal 2023 sudah terdeteksi 24 kasus per Februari 2023.
“Kasus TBC anak ini cukup meningkat dari 2021 ke 2022 saja naiknya mencapai tiga kali lipat sedangkan di Januari hingga Februari 2023 sudah ditemukan 24 kasus,” ungkapnya saat ditemui, Senin (20/3/2023).
Tingginya penemuan kasus TBC anak menunjukkan masih banyaknya sumber penularan TB pada orang dewasa yang belum ditemukan. Selain itu, Dinkes akan melakukan pemantauan terhadap pasien yang memang sudah masuk dalam sasaran, serta menghimbau kepada masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap keluarga masing-masing terutama anak-anak yang memang cukup rentan terpapar virus penyakit. (Niaga.asia, 20/3/2023)
Mengutip laman Alodokter (10-6-2022), ada beberapa kelompok berisiko tinggi tertular TBC, salah satunya ialah orang yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh; orang lanjut usia dan anak-anak; orang yang mengalami kekurangan gizi; orang yang memiliki kekebalan tubuh yang lemah seperti penderita HIV, kanker, dsb.
Lingkungan dan sanitasi yang bersih sangat penting mencegah penyakit TBC. Bahkan, ada anggapan di masyarakat bahwa penyakit TBC adalah penyakit orang miskin lantaran berkaitan dengan lingkungan kumuh dan sanitasi air yang buruk, meski tidak jarang ada sebagian kelompok menengah ke atas juga menjadi penderita TBC.
Namun, harus kita akui bahwa lingkungan dan sanitasi buruk memperberat kasus TBC pada kelompok masyarakat ekonomi ke bawah. Daerah dengan kondisi kumuh dan kurang terawat dapat menjadi faktor penyebaran TBC, terutama jika masyarakat cenderung abai terhadap gejala TBC yang dialaminya. TBC juga rentan menyerang anak-anak dengan kondisi gizi yang buruk.
Biang masalah dari meningkatnya penyakit menular seperti TBC ini adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini meniscayakan berbagai kebutuhan pokok masyarakat dikapitalisasi dan dikomersialisasi dalam setiap kebijakan negara. Masyarakat harus berusaha keras jika ingin memenuhi kebutuhan mereka.
Kemiskinan yang mendera tidak serta-merta karena kemauan mereka, melainkan kemiskinan tersistem akibat penerapan sistem kapitalisme. Masyarakat miskin lebih kesulitan menerapkan pola dan gaya hidup sehat ketimbang masyarakat menengah ke atas.
Perbedaan kondisi ekonomi inilah yang membuat kelompok sosial ekonomi rendah lebih rentan dan riskan terhadap penyakit menular seperti TBC .
Meski pemerintah sudah melakukan berbagai upaya mencegah dan meminimalkan penularan TBC, jika persoalan kemiskinan belum terurai secara tuntas, kasus TBC bisa jadi terus meningkat.
Sekalipun negara menggandeng ormas, LSM, bahkan WHO untuk mencegah dan mengatasi TBC, jika pengaturan urusan rakyat masih menerapkan kapitalisme, hidup sehat dan sejahtera hanya angan-angan belaka.
Lingkungan dan sanitasi bersih, gizi baik, terpenuhinya kebutuhan dasar, kesadaran literasi, pengetahuan, serta edukasi di masyarakat, tidak akan tercapai selama rakyat masih susah dan sulit mengaksesnya, apalagi rakyat miskin.
Oleh karenanya, biang masalah kemiskinan inilah yang mesti diselesaikan secara tuntas, barulah masalah penyakit menular semacam TBC dapat dicegah.
Solusi Islam
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Dalam hadis ini kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.
Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu. Nabi saw. bersabda, “Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan pengobatan akan mendatangkan dharar bagi masyarakat. Dharar (kemadaratan) wajib dihilangkan. Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.
Kebijakan kesehatan dalam Khilafah akan memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial.
Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.
Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri. Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan.
Syariah juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif.
Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Hal itu bukan hanya menjadi domain kesehatan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat umumnya.
Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb. Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti:
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, Maha Bersih dan mencintai kebersihan, Maha Mulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
Hadis ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri.
Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya.
Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.
Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum.
Wallahua’alam Bishowab