spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Untung Rugi pada Tata Kelola Kesehatan Melalui BPJS

Oleh:
Hafsah
(Pemerhati Masalah Umat)

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Taman Husada Bontang tetap memberikan pelayanan kepada pasien meski banyak yang memiliki tunggakan pembayaran BPJS. Namun, hal ini menimbulkan masalah pada operasional rumah sakit.

Direktur RSUD Bontang, Suhardi, mengatakan bahwa meskipun banyak pasien BPJS menunggak, pihaknya tetap berkomitmen untuk melayani masyarakat. Namun, situasi ini menjadi beban tersendiri bagi rumah sakit karena biaya pelayanan terus berjalan.

Menurut Suhardi, hingga kini belum ada solusi yang pasti terkait masalah tunggakan ini. Pihaknya telah berupaya mencari dana tambahan dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menutupi kebutuhan operasional, seperti biaya transportasi bagi pekerja rumah sakit.

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi B DPRD Bontang, Winardi, menyarankan agar pasien BPJS mandiri yang menunggak mengubah status mereka menjadi peserta BPJS yang ditanggung oleh pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa tunggakan sebelumnya tetap harus dilunasi, meskipun dengan cara dicicil. (Kitamudamedia)

Iuran Memaksa dan Mengalihkan Tanggung Jawab

Adanya asuransi kesehatan yang dinaungi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPPS) tidak serta merta menjamin akses kesehatan masyarakat.
Meski dibayar perbulan oleh pemerintah, perusahaan maupun pribadi atau mandiri, nyatanya asuransi kesehatan ini tetap menuai polemik.

Anehnya, hal ini terus dipaksakan kepada masyarakat untuk dijalani. Adanya unsur tolong menolong (ta’awun) dalam konsep berobat dengan cara ini pun tidak berlaku. Sejauh ini sebagian besar masyarakat tetap merasakan kesulitan berobat apalagi beberapa jenis obat harus ditanggung oleh pasien. Padahal, BPJS kesehatan yang ditanggung pemerintah tetap dibayar dari anggaran masing-masing daerah. Artinya, pihak BPJS tidak merugikan walau sebagian menunggak karena layanan akan dihentikan ketika pasien tidak membayar iuran.

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga untuk mendapat perlindungan dari negara. Akan tetapi, diskriminasi pelayanan kesehatan masih terus terjadi.

Baca Juga:  Evaluasi Capaian Stunting, Ternyata Masih Genting

Menurut Robert, dalam pelayanan di fasilitas kesehatan (faskes), pasien dengan pembiayaan sendiri dan asuransi cenderung lebih diutamakan. Sementara pasien (pengguna) BPJS Kesehatan selalu dianaktirikan.

Perbedaan iuran dan kelas pelayanan yang didapatkan semakin memperjelas ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan. Pemerintah harusnya lebih peka pada masyarakat kelas bawah yang notabene sulit dalam hal ekonomi sehingga merekalah yang mesti mendapat perhatian lebih.

Persoalan ini muncul saat pemerintah berlepas tangan mengurus layanan kesehatan. Pengelolaan sepenuhnya diserahkan pada pihak swasta dan pihak pemerintah hanya menjembatani antara rakyat sebagai pengguna dan pihak BPJS sebagai pengelola. Tak heran, dalam aktifitasnya tentu keuntungan yang menjadi prioritas, bukan kemaslahatan. Ketika berhitung untung rugi, dipastikan rakyatlah yang dirugikan.

Jika melihat sumber daya alam yang melimpah terutama di wilayah Kalimantan Timur khususnya, mestinya masalah kesehatan mampu dibiayai oleh pemerintah sepenuhnya. Mulai dari hasil tambang batubara, gas, minyak, hasil hutan dan perkebunan sawit, sangat mungkin masyarakat mendapatkan layanan kesehatan gratis secara penuh. Namun, semua hasil bumi dan laut telah berpindah tangan pengelolaannya pada pengusaha. Sehingga hasil bumi hanya bisa dinikmati remahannya oleh rakyat dalam bentuk pelayanan setengah hati. Keuntungan penuh jelas dinikmati oleh pemilik modal.

Pandangan Islam Tentang Asuransi Kesehatan

Islam tidak mengenal asuransi, hal ini lahir dari peradaban kapitalis dengan konsep tabungan berjangka. Layanan auransi kemudian berkembang pada sektor kesehatan. Adapun konsepnya banyak bertentangan dengan hukum syara:

Pertama, Peserta bayar premi bulanan, namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima. Bisa lebih besar, bisa kurang. Di situlah  unsur ketidak jelasan (gharar) dan untung-untungan.

Dalam asuransi kesehatan BPJS, tingkatannya nasional. Perputaran uang di sana sangat besar. Jika sebagian besar warga menjadi peserta BPJS, dana ini bisa mencapai angka triliyun. Jika dibandingkan untuk biaya pemeliharaan kesehatan warga, akan sangat jauh selisihnya. Disinilah letak gharar yang dimaksud.

Baca Juga:  Haruskah THM Ditutup di Luar Bulan Ramadan?

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah Saw bersabda:

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim 1513).

Kedua, Ada unsur judi, secara perhitungan keuangan bisa jadi untung, bisa jadi rugi. Sementara kesehatan peserta yang menjadi taruhannya.
Jika dia sakit, dia bisa mendapatkan klaim dengan nilai yang lebih besar dari pada premi yang dia bayarkan.

Ketiga, ketika klaim yang diterima peserta BPJS lebih besar dari premi yg dibayarkan, berarti dia mendapat riba Fadhl. Demikian pula, ketika terjadi keterlambatan peserta dalam membayar premi, BPJS menetapkan ada denda dan itu juga riba.

Menimbang 3 hal di atas, MUI dan beberapa pakar fikih di Indonesia, menilai BPJS belum memenuhi kriteria sesuai syariah.
BPJS Kesehatan termasuk dalam katagori Asuransi Komersial, jadi hukumnya haram.

Pelayanan Kesehatan dalam Sejarah Peradaban Islam

Adapun sejarah Pelayanan kesehatan dalam Sejarah Khilafah Islam bisa kita bagi dalam tiga aspek. Pertama, tentang pembudayaan hidup sehat.
Rasulullah saw banyak memberikan contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menekankan kebersihan, makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang

Kedua, tentang pemajuan ilmu dan teknologi kesehatan.
Rasulullah saw. juga menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal saat itu, seperti bekam. Beliau juga menjadikan seorang dokter yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada dirinya sebagai dokter publik.

Ketiga, tentang penyediaan infrastruktur dan fasilitas kesehatan.
Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.  Meski demikian, negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah. Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat.

Baca Juga:  Ibu dan Keluarga Terjamin dengan Islam

Pada zaman Pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit.  Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset.   Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa.  Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.

Semua rumah sakit di Dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.

Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya.  Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari. (Ak Wa’ie)

Adapun biaya pasien ditanggung seluruhnya oleh pemerintah. Mekanisme pembiayaan diambil dari kas Baitul mall yang bersumber dari pemasukan seperti zakat, kharaj (sewa tanah), jizyah (pajak dari non muslim), usy’ur (cukai), mad’in (barang tambang), rikaz (harta terpendam), fa’i dan ghonimah (harta rampasan perang).

Semua sumber pemasukan tadi digunakan untuk kemaslahatan rakyat termasuk sektor pendidikan, layanan sosial dan keamanan. Tujuan pengembangannya semata-mata untuk mensejahterakan rakyat baik yang kaya, terlebih yang kurang mampu.

Wallahu a’lam bisshowab

Most Popular