spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
No menu items!
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
No menu items!
More

    Gas LPG Langka, Pemenuhannya Kewajiban Negara

    Emirza, M.Pd

    (Pemerhati Sosial)

    Menanggapi banyaknya keluhan masyarakat di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, mengenai kesulitan mendapatkan LPG 3 kg bersubsidi, PT Pertamina Patra Niaga di Regional Kalimantan Timur kembali menghimbau kepada masyarakat dengan ekonomi mampu untuk tidak menggunakan LPG 3 kg bersubsidi.

    Sejauh ini, Pertamina telah berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Balikpapan dan menetapkan beberapa hal seperti akan dilakukan penertiban kepada usaha-usaha di masyarakat yang tidak berhak menggunakan LPG 3 kg bersubsidi dan Pertamina juga akan melakukan pembinaan kepada agen dan pangkalan resmi LPG 3 kg yang tidak menyalurkan sesuai aturan.

    Dari Pemerintah Kota juga akan kembali menawarkan program tukar tabung untuk ASN di Kota Balikpapan. Sementara dari Pertamina akan memberlakukan kepada seluruh pangkalan resmi LPG 3 kg untuk menjual produk Non subsidi yaitu Bright Gas guna pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

    Begitu juga pada Kota Bontang, penyebab kelangkaan elpiji 3 kg dikarenakan keterlambatan pengiriman dan pengisian di Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SBPE) Samarinda dan Sangkulirang beberapa waktu lalu. Hal ini dijelaskan Kabag Perekonomian dan Sumber Daya Alam, Sekda Bontang, Moch Arif Rochman usai memantau agen dan pangkalan elpiji 3 kg. (radarbontang.com, 6/7/2023)

    Kewajiban Negara

    Kelangkaan Gas elpiji semakin menyulitkan masyarakat. Kelangkaan dan naiknya gas elpiji akan berdampak pada naiknya kebutuhan lainnya. Hal semacam ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah abai dalam mengurusi kebutuhan masyarakat.

    Masalah kelangkaan gas ini menjadikan masyarakat menanggung beban mereka sendiri. Rakyat dibiarkan kesusahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di saat yang sama Sumber Daya Alam (SDA) justru dikeruk oleh asing. Padahal potensi SDA yang dimiliki oleh Indonesia sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

    Baca Juga:   Keterwakilan Politik Perempuan Minim, Haruskah Implementasikan Kesetaraan Gender?

    Pada sektor pertambangan, negeri ini penghasil gas bumi terbesar. Kekayaan yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jikalau tidak gratis, setidaknya harganya bisa lebih murah dan tidak susah dicari.

    Pemenuhan kebutuhan rakyat ini harusnya menjadi tanggung jawab negara. Sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi karena hampir seluruh tambang migas di negeri ini dikelola swasta (asing).

    Pertamina hanya menguasai beberapa tambang, itu pun bukan tambang besar. Dengan dalih kecanggihan teknologi dan butuh biaya besar, tambang negeri ini diserahkan pada asing, seperti ExxonMobil dan Chevron sebagai pemain andalan perusahaan migas.

    Berhasilnya swasta bermain di bagian hulu, ketersedian gas dan harga migas harus mengikuti ketentuan dunia adalah hasil dari masuknya UU Migas yang liberal. Asing diizinkan masuk untuk mengeruk kekayaan alam, sedangkan anak negeri hanya mendapat sedikit tempat.

    Maka, para kapitalislah yang mendapatkan untung, sedangkan bangsa sendiri mendapat buntung. Ujung-ujungnya rakyat juga yang merasakan dampak buruknya seperti kelangkaan dan kenaikan harga gas elpiji. Inilah buah dari liberalisasi.

    Pemerintah dapat menyejahterahkan dan meringankan beban masyarakat ketika pengelolaan SDA dikelola dengan benar dan diperuntukkan kepada rakyat. Padahal, tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan gas elpiji sesuai kebutuhan rakyatnya dan meringankan beban masyarakat dari kelangkaan gas elpiji.

    Inilah buah dari sistem demokrasi kapitalisme. Pemerintah yang harusnya memperhatikan nasib dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan masyarakat, justru memperhitungkan untung rugi dengan masyarakat. Maka kehidupan rakyat jadi semakin sempit, untuk memenuhi kebutuhan dengan susah payah mencari gas elpiji dengan harga yang juga jadi naik karena kelangkaanya.

    Baca Juga:   Kapitalisme Menyusahkan Ekonomi, KDRT Makin Menjadi

    Tata Kelola Migas dalam Islam

    Islam memiliki tata kelola yang khas dalam mengatur migas, dimana migas merupakan bagian dari SDA. Hal ini diatur berdasarkan sistem ekonomi Islam dengan adanya mekanisme kepemilikan. Islam menetapkan benda-benda tertentu sebagai milik individu, milik negara dan milik umum.

    Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

    Hadis di atas menyebutkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak (hutan, laut, danau, perairan serta tambang dan migas) dikuasai oleh negara.

    Maka, haram dimiliki atau dikelola perorangan apalagi asing. Islam mewajibkan negara mengelolanya, kemudian hasilnya diberikan pada rakyat, baik muslim maupun nonmuslim.

    Dalam konteks migas yang jumlahnya tak terbatas, Islam menetapkannya sebagai milik umum atau milik umat, bukan milik individu atau milik negara. Sehingga haram bagi negara melakukan swastanisasi maupun kapitalisasi.

    Migas yang merupakan milik umat, maka sebagai pemilik kekuasaan dan pemegang amanah kepemimpinan, negara akan berusaha optimal mengelola dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan seluruh masyarakat tanpa terkecuali; laki-laki atau perempuan, kaya maupun miskin. Negara tidak akan membiarkan ada pihak manapun menarik keuntungan hingga rakyatnya terzalimi.

    Baca Juga:   Menabrak Rambu-rambu Allah SWT di HUT RI

    Posisi penguasa adalah sebagai pengelola, bukan sebagai pemilik. Maka, pos pemasukan dan pengeluaran dari sumber kepemilikan umum ini menempati pos tersendiri di Batulmal. Semuanya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan ummat.

    Maka, problem kelangkaan gas bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah filosofis, ideologis, yuridis, dan politis. Dalam hal ini, Islam menjawab semua masalah tersebut.

    Hanya saja, di dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam gas seluruh pengelolaannya berada di tangan korporat dengan perspektif keuntungan perusahaan, bukan keuntungan rakyat. Praktik inilah yang menyebabkan kelangkaan elpiji.

    Jadi, praktik pengelolaan gas elpiji ini menyelisihi syariat. Maka, sikap muslim terhadap hal itu bukan pasrah dan diam saja, tetapi menunjukkan kepada umat tentang kezaliman pengelolaan gas elpiji versi kapitalisme seraya mengedukasi umat tentang pengelolaan gas elpiji menurut syariat Islam.

    Selama 13 abad kepemimpinan Islam, masyarakat merasakan kesejahteraan. Semua hak-hak rakyat terpenuhi dengan baik, sehingga mereka punya kesempatan untuk membangun taraf hidup yang lebih tinggi dan nampak dalam bentuk peradaban yang maju.

    Inilah yang saat ini hilang dari umat. Akibat jauh dari kepemimpinan dan tata kelola negara Islam kesengsaraan terus terjadi hari ini seperti susahnya mendapatkan gas elpiji untuk keberlangsungan hidup, alih-alih sejahtera, pemenuhan kebutuhan pokok saja harus diperjuangkan.

    Saatnya kita sadar bahwa seluruh persoalan umat, termasuk di dalamnya soal kapitalisasi migas yang menzalimi pemiliknya yaitu rakyat, hanya akan selesai jika umat kembali kepada Islam.

    Wallahualam.

    Most Popular