Emirza Erbayanthi, M.Pd
(Muslimah Peduli Umat)
Seorang ayah di Bontang tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang masih berusia dua bulan. Selain kasus penganiayaan, tersangka, terindikasi menggunakan narkoba.
Hal itu diungkapkan Kapolres Bontang AKBP Alex Frestian Lumban Tobing saat konferensi bersama awak media. (bontangpost.id, 29/7/2024)
Tanggapan Anggota Komisi I DPRD Kota Bontang bahwa pemerintah harus memiliki ketegasan dari sisi regulasi seperti sanksi bagi para pelaku, kemudian dari sisi pengawasan orang tua juga harus ditingkatkan. Termasuk sisi pendidikan dan melibatkan tokoh di masyarakat. (radarbontang.com, 30/7/2024)
Kian Meningkat
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) 2023, dari 20.205 anak yang menjadi korban kekerasan, sebanyak 4.025 anak mengalami kekerasan fisik dan 3.800 anak mendapat kekerasan psikis.
Sementara itu, menurut catatan KPAI, hingga Agustus 2023, sebanyak 2.355 kasus pelanggaran masuk sebagai laporan kekerasan anak. Di antaranya, korban kekerasan seksual (487 kasus), kekerasan fisik atau psikis (236 , korban kebijakan pendidikan (27), dan korban perundungan (87).
Data UPTD PPA Kota Bontang, tercatat hingga Mei 2024 kekerasan pada anak dengan kekerasan fisik berada pada urutan pertama, sebanyak 16 kasus setelah kekerasan seksual sebanyak 13 kasus. Kemudian kekerasan psikis 6 kasus, kekerasan hak nafkah anak 2 kasus, bulying 2 kasus, ABH 2 kasus dan seksual (pornografi) 2 kasus. (radarbontang.com, 11/7/2024)
Meski data dan angkanya berbeda, hal itu tidak mengubah fakta bahwa kekerasan pada anak terus saja terjadi dan cenderung kian meningkat. Terbukti, pada 2020, ada 11.278 kasus kekerasan terhadap anak, 2021 terdapat 14.517 kasus, dan 2022 ada 16.106 kasus.
Berulangnya kasus kekerasan pada anak menjadi catatan kelam bagi negeri ini. Berbagai pelanggaran hak anak terjadi, baik sebagai pelaku maupun korban. Tidak ada perbedaan anak di pedesaan ataupun perkotaan.
Anak-anak berada dalam ancaman kekerasan dan situasi belum aman dari berbagai bentuk eksploitasi hingga ancaman jiwa. Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak, baik orang tua, masyarakat, satuan pendidikan, dan pemerintah.
Penyebab Kekerasan pada Anak
Menurut KPAI, ada tujuh penyebab maraknya kekerasan pada anak, di antaranya budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orang tua, kurangnya kesadaran melaporkan anaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan, serta merosotnya moral.
Di luar dari tujuh sebab yang disampaikan KPAI, faktor terbesar penyebab kekerasan pada anak terjadi adalah karena sistem sekuler yang diterapkan hari ini. Paradigma sekuler tidak menjadikan Islam sebagai standar dan dasar dalam mendidik. Maka mengakibatkan anak tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari ketakwaan.
Apakah budaya patriarki memberi kontribusi kekerasan pada anak? Budaya ini berpandangan bahwa perempuan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengurus dan mengasuh anak. Sementara itu, peran ayah hanya dimaknai sebagai pencari nafkah sehingga alasan sibuk bekerja menjadi pembenaran bagi para ayah tidak banyak terlibat dalam pengasuhan anak.
Mengentalnya budaya ini di dalam masyarakat sekuler adalah akibat terkikisnya pemahaman Islam mengenai peran ayah dan ibu dalam mendidik dan mengasuh anak. Dalam penerapan sistem Islam, budaya patriarki semacam ini tidak ada. Bahkan keduanya menjalankan peran masing-masing sesuai ketentuan Islam secara harmonis dan seimbang.
Penelantaran, pola asuh, rendahnya kontrol anak, dan merosotnya moral. Kondisi ini ada pada paradigma orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jika menggunakan paradigma sekuler, anak telantar terjadi karena banyak faktor, seperti kesibukan orang tua bekerja, orang tua tidak memahami tanggung jawab pengasuhan, atau perceraian. Maka, anak tumbuh dengan sendirinya tanpa pengawasan dan pendidikan.
Ketika keluarga tidak menerapkan pola asuh sesuai Islam, seperti penanaman akidah Islam pada anak sejak dini, maka anak akan kehilangan identitas dirinya sebagai hamba Allah yang taat. Sehingga, anak yang tidak terbentuk ketaatan pada Tuhannya cenderung permisif dan rentan berbuat maksiat.
Pengaruh media, maraknya pornografi hingga narkoba menjadi ranah negara dalam melakukan pencegahan. Negara seharusnya melakukan kontrol dan pengawasan terhadap konten, tayangan yang berbau pornografi atau kekerasan dan juga keamanan dari peredaran norkoba.
Perangkat hukum belum memberikan efek jera. Regulasi yang sudah ada, seperti UU Perlindungan Anak, faktanya belum mampu mengurangi jumlah kasus kekerasan pada anak yang terus meningkat.
Artinya, negara lemah dalam menjamin dan melindungi anak dari kekerasan. Walaupun di tiap kota/kabupaten telah diterapkan kota atau sekolah ramah anak, jika sistem sekuler masih digunakan, dampak positifnya tidak akan terlihat.
Begitu juga dengan program edukasi antikekerasan atau sejenisnya, juga tidak akan mampu mencegah kekerasan pada anak ketika paradigma sekuler masih dalam kehidupan.
Sekularisme membuat orang lengah dalam konsep keimanan dan ketaatan pada Allah Taala, sehingga pelampiasan sesorang kepada yang lain seperti narkoba. Sehingga terjadi seperti kasus diatas, seorang bapak gelap mata menganiaya bayinya.
Sekularisme juga membuat aktivitas amar makruf nahi mungkar hilang dalam kehidupan masyarakat. Sekularisme membuat peran negara sangat minim dalam melindungi anak dari berbagai kejahatan dan kekerasan. Maka akar masalah maraknya kekerasan pada anak adalah ideologi kapitalisme sekularisme.
Cara Islam Melindungi Anak
Anak adalah aset berharga sebuah bangsa yang akan membangun peradaban manusia. Jika generasi penerus kita menjadi pelaku atau korban kekerasan, maka peradaban apa yang akan terbentuk?
Sehingga Islam meletakkan perhatiannya secara penuh dalam mewujudkan generasi cerdas dan berkualitas, baik secara akademis, emosional, dan spiritual. Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya.
Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.
Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.
Kedua, lingkungan. Masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun.
Ketiga, negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi. Fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak.
Negara juga menerapkan sistem sanksi Islam. Sepanjang hukum Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi. Ini karena sanksi Islam memberi efek jera bagi pelaku sehingga tidak akan ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan berulang terjadi.
Anak adalah amanah dan titipan dari Allah Taala. Sudah semestinya semua mendidik dan mengasuh sesuai kehendak yang menitipkan, yakni mendidik anak agar memiliki ketaatan serta kepribadian yang sesuai dengan syariat Islam.
Tiga pilar pelindung generasi, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara, tidak akan berjalan optimal tanpa penerapan syariat Islam secara kafah. Penerapan Islam secara menyeluruh ini hanya bisa dilakukan dalam wujud sistem Islam.
Wallahualam.