spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Keterwakilan Politik Perempuan Minim, Haruskah Implementasikan Kesetaraan Gender?

Oleh:

Rahmi Surainah, M.Pd

Alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin

Keterlibatan perempuan di perpolitikan Bontang, disebut masih minim. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita.

Kurangnya keterlibatan perempuan di bidang politik itu ditandai dari jumlah keterwakilan perempuan di parlemen yang hanya 12 persen.

Rendahnya jumlah keterwakilan menurutnya berpengaruh terhadap hak-hak perempuan, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan publik dan produk regulasi mengenai kesetaraan gender.

Dia menjelaskan, ada tiga indikator untuk mengukur Indeks Pemberdayaan Gender (IPG). Pertama keterwakilan perempuan di bidang politik, kemudian keterwakilan perempuan di bidang publik, dan keterwakilan perempuan di bidang ekonomi atau usaha. (Tribunkaltim.co, 16/6/2023)

Perihal keterwakilan perempuan tersebut senada dengan apa yang disampaikan Ibu Sobah saat menghadiri rapat Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Bontang pada 8 juli 2023 bertempat di rumah makan Bolang.

Adapun agenda diisi dengan beberapa point. Pertama, jika ada perempuan yang mencari nafkah untuk keluarga bisa dilaporkan ke kelurahan untuk dimasukkan datanya dalam “Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga.” Kedua, perempuan harus aktif dan paham politik. Perempuan yang menjadi caleg agar didorong dan didukung untuk mencapai kuota 30% (5 orang dari 25 anggota Dewan). Ketiga, tentang kegiatan berikutnya yakni peringatan Hari Ibu.

Demikianlah seruan agar perempuan terlibat dalam politik. Keterwakilan perempuan terjun di dunia politik masih minim, implementasi kesetaraan gender pun dianggap tidak terealisasi.

Baca Juga:  Eksploitasi Anak Masih Terjadi di Peringatan HAN

Berbagai slogan menarik perempuan “hanya perempuan yang mengerti perempuan, hanya perempuan sendiri dianggap mampu menyelesaikan persoalan perempuan, permasalahan perempuan dan anak terjadi karena tidak melibatkan perempuan dalam politik.” Namun benarkah demikian? Terjunnya perempuan ke dunia politik saat ini apakah bisa dikatakan pilihan cerdas?

Perempuan Jangan Teperdaya Keseteraan Gender

Pemahaman masyarakat khususnya perempuan tentang politik saat ini memang sudah semakin sempit. Sebagian besar memahami politik hanya berkutat pada urusan parlemen dan masalah pemilu saja. Akibatnya, mereka tidak peduli bahkan menganggap politik itu kotor. Padahal untuk para perempuan sendiri, ketika mereka belanja harga satu biji telor yang dibelinya adalah hasil dari kebijakan politik. Belum lagi biaya listrik, pendidikan, kesehatan, dan lain-lainnya adalah buah dari kebijakan politik penguasa saat ini.

Tidak dapat dipungkiri politik hari ini adalah untuk menopang dan menjaga sistem kapitalistik yang terbukti penuh dengan berbagai kerusakan. Kita lihat bagaimana kondisi perpolitikan saat ini yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan.

Politikus rela mempertaruhkan idealisme demi sekedar materi berupa kekayaan dan jabatan. Tidak sedikit politikus perempuan yang korupsi berujung jeruji besi.

Perempuan disasar untuk aktif berpolitik, baik itu dukungan suara maupun keterlibatannya. Perempuan dengan dalih kesetaraan gender, HAM alias hak perempuan, dan demokrasi lewat eksistensi kehidupan sosial dan bernegara disuruh ambil peran dalam politik saat ini.

Baca Juga:  Ironi, Prostitusi Anak di Kota Layak Anak

Dapat dikatakan seruan kepemimpinan perempuan dalam politik dan pemerintahan saat ini tidak membawa perubahan. Nasib perempuan akan tetap sama, yakni terpinggirkan, artinya perempuan “dibodohi” oleh politik kapitalis atas nama keseteraan gender.

Sesungguhnya konsep kesetaraan gender merupakan konsep cacat baik rasional maupun sosial. Kesetaraan gender hanya akan membebani para ibu dengan tanggung jawab ekstra, mencabut hak-hak mereka atas penyediaan keuangan, menyebabkan konflik dalam pernikahan bahkan perceraian, serta membajak peran keibuan.

Perempuan disuruh masuk dalam sistem agar dapat memperjuangkan nasibnya. Perempuan dianggap memiliki peran yang setara dalam mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi perkembangan bangsa dan negara. Padahal, berpolitik berdasarkan gender dan demokrasi bukan solusi masalah perempuan dan bangsa. Justru melanggengkan gender dan demokrasi serta menghancurkan perempuan, keluarga dan generasi.

Cerdas Berpolitik dengan Islam

Dalam Islam perempuan boleh menjadi anggota partai politik dan melakukan muhasabah lil hukkam (menasehati penguasa), serta memilih pemimpin. Perempuan juga diperkenankan menjadi anggota Majelis Umat yang merupakan lembaga perwakilan umat. Namun Islam tegas melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan.

Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada perempuan.” (HR Bukhari)

Haram bagi perempuan menduduki tampuk kekuasaan dan menerima jabatan pemerintahan. Namun, Islam tidak memandulkan peran politik perempuan. Islam justru memperbolehkan partisipasi politik dalam batas-batas yang ditetapkan syariat. Dalam Islam ketika perempuan terjun dalam politik maka suara perempuan mewakili suara umat keseluruhan bukan hanya perempuan.

Baca Juga:  Pergaulan Bebas Marak, Nikah Dini Kian Merebak

Politik dalam Islam tidak sempit yang hanya dimaknai dengan duduk dikursi kekuasaan. Politik dalam Islam dikenal dengan “as-Siyasah” berati pengaturan urusan umat. Berpolitik adalah hal yang begitu penting bagi kaum muslimin.

Jadi, kita harus memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syariat Islam. Terlebih, memikirkan/ memperhatikan urusan umat Islam hukumnya wajib.

Rasulullah SAW bahkan telah memperingatkan setiap Muslim agar peduli terhadap nasib saudaranya. ”Barang siapa bangun di pagi hari, tapi tidak memikirkan nasib kaum Muslimin, maka dia bukan termasuk golonganku.”

Kepedulian terhadap umat saat ini bisa diwujudkan dengan berdakwah. Dakwah hukumnya wajib. Termasuk muhasabah kepada penguasa. Dalam sirah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar, beliau pernah ditegur oleh seorang perempuan di atas mimbar kerena membatasi mahar. Khalifah Umar pun menerima dan memperbaiki kesalahannya.

Demikianlah sosok perempuan yang jadi teladan, hendaknya perempuan cerdas berpolitik.  Peran perempuan dalam perpolitikan saat ini adalah dengan terjun ke medan dakwah dan menasehati penguasa. Demikianlah perempuan yang cerdas berpolitik mampu menyelesaikan persoalan umat dengan standar Islam.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

Wallahu’alam…

Most Popular