spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Perdagangan Manusia Marak Akibat Pengangguran dan Kemiskinan

Oleh: Hafsah

(Pemerhati Masalah Umat)

Berita tentang perdagangan manusia mulai mencuat, dengan adanya kasus TKW dari Bontang yang mengirim video meminta tolong untuk dipulangkan ke Indonesia, dengan alasan diperdagangkan. Kasus ini cukup membuat masyarakat bersimpati lantaran hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Bontang tidak bisa memastikan, apakah bisa memulangkan Ayu Febriani, wanita asal Bontang yang ‘dijual’ ke Suriah. Lantaran proses keberangkatan kerja Ayu tidak melalui rekomendasi Disnaker Bontang. (Radarbontang.com, 7/4/2023).

Sejauh ini tindakan Kemenlu hanya  mendorong keluarga untuk memproses hukum penyalur tenaga kerja, agar bertanggung jawab atas proses pemulangan dan pembayaran ganti rugi kepada majikan.

Selain itu tidak menyarankan pemerintah kota bontang untuk membayarkan ganti rugi kepada majikan, karena akan terulang lagi di waktu mendatang dan tidak akan membuat efek jera bagi penyalur-penyalur TKI ilegal.

Walau proses pemulangan diupayakan, namun tidak dapat dilakukan secepat itu karena adanya Konvensi Mina, aturan hukum internasional tentang perjanjian antar negara.

Dalam perjanjian itu mengatur pekerja migran di Suriah adalah legal dan terikat kontrak. Apabila ingin mengakhiri kontrak secara sepihak, harus mengganti biaya perekrutan dan biaya ganti rugi yang nilainya sesuai dengan kontrak yang telah ditandatangani.

Langkah yang ditempuh semakin sulit akibat kedua negara punya aturan mengenai kontrak pekerja migran.

Berkenaan dalam hal ini, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, yang menjadi salah satu pembicara dalam Forum Bali Process di Adelaide, Australia, mengatakan, tindak pidana perdagangan manusia semakin kompleks dan pelakunya semakin canggih.

“Mereka menggunakan teknologi untuk melakukan aksi mereka, sehingga semakin sulit diidentifikasi. Para korban, khususnya perempuan, semakin rentan mengalami kekerasan,” kata Retno, Jumat (10/2/2023).

Baca Juga:   “Tantangan Profesi dan Kompetensi Komunikasi di Era Digital Pasca Pandemi”, Bagaimana Seharusnya Kompetensi SDM Komunikasi Hadir?

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), pada tahun 2021, terdapat 678 korban TPPO.

Pemerintah Indonesia sendiri belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). sejauh ini upaya yang dilakukan di antaranya mendukung repatriasi Pekerja Migran Indonesia yang sebagian dieksploitasi dalam praktik perdagangan manusia di luar negeri, merujuk sebagian korban TPPO ke layanan sosial, melaksanakan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) 2017, dan meningkatkan anggaran untuk layanan perlindungan korban dan saksi.

Namun, pemerintah belum secara keseluruhan menunjukkan peningkatan upaya dibandingkan periode pelaporan sebelumnya.

Layanan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah juga belum memadai, karena tidak secara khusus memenuhi kebutuhan korban perdagangan orang. Meskipun pemerintah telah menindak sejumlah kasus kerja paksa dalam industri perikanan dan Pekerja Migran Indonesian (PMI) di luar negeri, pemerintah tidak sepenuhnya memprioritaskan penempatan pegawai atau anggaran untuk secara efektif mengawasi sektor-sektor yang telah lama memiliki masalah perdagangan manusia.

Sementara Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) tahun 2007 tidak konsisten dengan hukum internasional, karena masih memuat syarat pembuktian kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan kejahatan perdagangan manusia.

Kasus kemudian terus bertambah tanpa ada perubahan yang signifikan.

Akar Masalah

Masalah ekonomi dan kemiskinan masih menjadi alasan utama bagi sebagian masyarakat, untuk mencari nafkah sampai ke luar negeri. Gayung bersambut dengan menjamurnya agen penyalur tenaga kerja baik legal maupun ilegal.

Kondisi ini dianggap wajar bagi pemerintah saat ini, mengingat para TKI menjadi penyumbang devisa bagi negara. Undang-undang perlindunganpun diberikan sebagai payung hukum bagi para TKI, namun faktanya masih banyak kasus yang menimpa mereka berujung merugikan pihak TKI.

Baca Juga:   Keterwakilan Politik Perempuan Minim, Haruskah Implementasikan Kesetaraan Gender?

Maraknya kasus perdagangan manusia mengindikasi, gagalnya negara meriayah rakyat terutama dalam permasalahan pekerja. Angka pengangguran bertambah seiring meningkatnya kemiskinan.

Indonesia yang notabene kaya akan sumber daya alam, namun rakyat kehilangan kesempatan untuk menikmatinya akibat pengelolaan kekayaan milik rakyat diserahkan kepada pihak swasta atau investor dari luar.

Tenaga kerjapun didatangkan dari pihak pengelola, sehingga menggeser kesempatan kerja bagi rakyat, akibatnya terjadilah pengangguran.

Selain faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan, faktor pengangguran juga merupakan salah satu penyebab kejahatan perdagangan manusia. Dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak memadai, memaksa para pengangguran ini melakukan migrasi ke daerah lain yang dianggap potensial.

Inilah wajah kapitalis liberal dalam mengurusi hajat hidup rakyat. Tanggung jawab sebagai pengurus rakyat terkesan seadanya dan menuntut timbal balik.

Hal yang menimpa Ayu hanya salah satu dari sekian banyak kasus yang menunjukkan wajah buruk sistem ini. Kemiskinan memaksa perempuan untuk keluar mencari nafkah, kemudian berimbas pada perdagangan manusia dan tindak kekerasan.

Perempuan seharusnya tidak bertanggung jawab sebagai pencari nafkah namun harus dilakukan karena tuntutan hidup.

Solusi Islam Meriayah (Mengurusi) Rakyat

Dalam mengatasi human trafficking seperti yang terjadi di luar negeri, tentunya harus disikapi secara detail penyebab dan akar masalahnya.

Dalam Islam hal serupa tidak akan terjadi karena riayah negara terhadap rakyat adalah aplikasi dari ketaatan kepada Allah SWT. Konsep diberlakukan berdasarkan syariah Islam dimana negara adalah penanggung jawab utama.

Baca Juga:   Karhutla di Bontang Berulang, Mengapa?

Sebagai penanggung jawab Pemerintahan Islam mempunyai mekanisme dalam mengatur urusan rakyat, dimulai dari mengatur harta atau kepemilikan. Maka negara mengatur masalah kepemilikan individu, rakyat dan negara untuk memperjelas status harta masing-masing pihak.

Kepemilikan individu didapatkan rakyat dari hasil bekerja. Lapangan pekerjaan menjadi tanggung jawab pemerintah agar tersedia bagi rakyat khususnya laki-laki sebagai pencari nafkah, sehingga tidak terjadi pengangguran yang berakibat kemiskinan sehingga rakyat tidak perlu ke luar negeri untuk bekerja. Fungsi negara adalah menjaga keamanan harta tersebut.

Kepemilikan rakyat adalah segala sesuatu yang tersimpan di bumi adalah hak bersama, negara berperan mengelola harta tersebut seperti barang tambang, kekayaan hutan, dan sumber air.

Potensi alam ini diambil secukupnya dan dikelola  untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengelolaan tidak diserahkan kepada swasta yang berpotensi terjadi eksploitasi SDA.

Dengan cara tersebut kesenjangan sosial tidak terjadi karena kekayaan rakyat tidak dikuasai individu dan kelompok.

Kepemilikan negara adalah yang didapat dari zakat orang mampu, penyewaan tanah, harta rampasan saat berperang, dan yang sejenisnya. Harta ini menjadi milik negara dan menjadi anggaran belanja untuk negara, bukan dari yang lainnya apalagi mengandalkan devisa dari TKI.

Selain itu, negara juga bertanggung jawab membekali tenaga kerja dengan ilmu yang memadai melalui pendidikan formal dan non formal.

Tujuannya agar semua masyarakat terutama laki-laki mudah mendapatkan pekerjaan dengan ilmu yang dimiliki. Dengan begitu seluruh kepala rumah tangga akan melaksanakan kewajiban tanpa alasan jelas, sehingga perempuan tidak harus turun tangan mencari nafkah.

Itulah salah satu langkah yang ditawarkan oleh Islam dalam mengatasi perdagangan manusia.

Wallahu a’lam bisshowab

Most Popular