Emirza, M.Pd (Pemerhati Sosial)
Kementerian Agama (Kemenag) Bontang hingga kini masih menunggu keputusan sah dari pemerintah pusat, mengenai kenaikan biaya haji pada tahun 2023 ini. Hal itu disampaikan Kepala Kantor Kemenag Bontang, Izzat Solihin.
Diketahui kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang telah diusulkan pemerintah sebesar Rp 69,1 juta untuk tahun 2023. Hal ini menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. (radarbontang, 25/1/2023)
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief membenarkan bahwa Arab Saudi menurunkan paket layanan haji 1444 H sekitar 30% dari harga yang mereka tetapkan tahun 2022. Menurutnya, penurunan paket haji itu juga sudah diperhitungkan dalam usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M yang disusun pemerintah.
Kemenag telah mengusulkan BPIH tahun ini naik dibanding 2022. Kenaikannya sebesar Rp514.888,02. Ini karena rata-rata BPIH yang diusulkan tahun ini adalah Rp98.893.909,11. Sedangkan, rerata BPIH 2022 sebesar Rp98.379.021,09.
Hilman menjelaskan, itu terjadi karena perubahan skema prosentase komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dan nilai manfaat. Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70% BPIH dan 30% nilai manfaat.
Pada 2023 dari total BPIH Rp98.893.909, diusulkan 30% atau Rp29 juta diambil dari komponen nilai manfaat (optimalisasi) dana haji BPKH. Sedangkan, sisanya 70% atau Rp 69 juta dari uang jemaah haji. Jika jemaah sudah membayar setoran awal Rp 25 juta saat pendaftaran, maka Rp69 juta dikurangi Rp25 juta, atau Rp44 juta yang wajib dilunasi.
Kapitalisme membuat Penguasa Menjadi Pengusaha
Mahalnya biaya haji di Indonesia tidak terlepas dari sistem hidup atau ideologi yang diterapkan hari ini, yakni kapitalisme sekularisme. Dampaknya, akan memengaruhi pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim. Asasnya adalah materi, standar kebahagiaannya adalah materi. Maka, pelayanan publik juga dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan ibadah haji.
Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, berubah menjadi pengusaha yang pertimbangannya untung rugi. Mahalnya biaya haji, misalnya, hanyalah dampak dari rantai kepentingan kapitalis dalam urusan haji.
Ibadah haji dalam pandangan kapitalisme adalah peluang bisnis dan peluang pasar yang kemudian dieksploitasi, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil.
Begitu juga tentang panjangnya antrian haji. Sejak lembaga perbankan berbisnis dana talangan haji, masyarakat yang belum punya uang dengan mudah mendapatkan nomor porsi.
Sistem Islam
Dibandingkan dengan sejarah penyelenggaraan haji dalam sistem Islam. Betapa besar perhatian dan pelayanan antara kepala negara kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Hanya untuk melayani, jauh dari konteks investasi atau mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Ada beberapa langkah yang dilakukan Kepala Negara Islam dalam melayani jemaah haji. Pertama, Amirul Mukminin (Kepala Negara) menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilh dari orang-orang bertakwa dan cakap dalam memimpin.
Kedua, jika negara harus menetapkan biaya penyelenggaraan haji, maka nilainya akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.
Dalam penentuannya, paradigma Negeri Islam adalah mengurus urusan jamaah haji dan umrah. Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Kepala Negara Islam juga akan membuka opsi, yakni rute darat, laut, dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Ketiga, kepala negara berhak mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu, keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, kepala negara memperhatikan, kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.
Keempat, kepala negara akan menghapus visa haji dan umrah. Karena, di dalam sistem Islam, kaum Muslim berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, seperti saat ini.
Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.
Kelima, kepala negara akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang mengganggu, atau menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga dapat tercapai.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway.
Sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah), termasuk membangun saluran air yang menjamin jamaah haji tidak kekurangan air sepanjang perjalanan. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Keenam, pada masa pandemi atau wabah, kepala negara berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, pemberian vaksin bagi para jamaah haji, sarana kesehatan yang memadai, juga tenaga medis yang memadai.
Kepala Negara tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji, tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing, treatment/pengetesan, pelacakan dan perlakuan) sesuai protokol kesehatan pada warga.
Mereka yang terbukti sakit akan dirawat sampai sembuh. Mereka yang sehat tetap diizinkan beribadah haji. Menutup pelaksanaan haji dan umrah adalah tindakan yang keliru karena menghalangi orang yang akan beribadah ke Baitullah.
Prinsip Pelayanan
Semua aktivitas itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini. Pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan seperti pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dan lainnya.
Maka, penjagaan terhadap rukun Islam dan aturan lainnya secara sempurna akan terjadi dalam Sistem Islam yang merupakan kepemimpinan umum kaum muslim yang menerapkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Wallahualam